Masa kampanye pemilu ’99 telah berakhir. Kemarin dan hari ini pun jadi masa tenang menjelang hari pemungutan suara 7 Juni 1999. Ini merupakan masa tenang paling singkat. Untuk tiap penyelenggaraan pemilu pada masa Orde Baru — enam kali — masa tenangnya selalu tujuh hari penuh. Sedangkan pada pemilu ’55 selama lima hari.
Masa tenang mestinya bebas dari kegiatan kampanye. Kenyataannya sejumlah parpol peserta pemilu ’55 masih memanfaatkannya dengan mendatangi rumah-rumah para pendukungnya. Langkah itu ditempuh untuk memantapkan pilihan mereka atas partai bersangkutan pada saat pencoblosan.
Harian Pedoman (24/9-1955) memuat pernyataan protes pimpinan partai Masyumi. Objek protes itu adalah rencana Presiden Soekarno yang hendak berpidato di Bandung di depan massa barisan Bendera Merah Putih pada 25 September. Menurut Masyumi, pidato itu menyalahi ketentuan minggu tenang yang berlangsung antara 24 dan 28 September 1955. Nama Bung Karno — selaku pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) — memang sering dimanfaatkan partai itu untuk memenangkan pemilu.
Di masa Orba, masa tenang secara terselubung dimanfaatkan pula oleh para pejabat untuk meresmikan berbagai proyek dalam upaya mengambil simpati massa. Sedangkan pada malam menjelang pemilu para aparat pemerintahan (mulai dari lurah dan camat) mendatangi rumah-rumah penduduk agar mendukung kekuatan tertentu, yang saat itu dikenal dengan istilah serangan fajar.
Dua hari menjelang Pemilu tanggal 29 September 1955, Antara memberitakan bahwa kota Jakarta mulai sepi ditinggalkan oleh sebagian warganya. Para pedagang kecil hampir tidak tampak di mana-mana karena pergi mudik untuk mencoblos. Keadaan ini sekaligus memperkuat isu-isu yang beredar sebelumnya bahwa pada saat pemilu pasar-pasar di Jakarta seluruhnya akan tutup. Khawatir akan isu yang merebak itu, akibatnya para ibu rumah tangga pun memborong bahan-bahan kebutuhan pokok sehari-hari untuk persediaan selama beberapa hari.
Yang juga menyusahkan para ibu rumah tangga waktu itu adalah mudiknya para pembantu rumah tangga. Hal sama juga merepotkan korps diplomatik yang berkantor di Jakarta. Para pekerja dan pembantu rumah tangga mereka ikutan mudik pula untuk mencoblos di kampung. Kalangan diplomat itu selama beberapa hari terpaksa selalu membawa anggota keluarganya makan di restoran atau hotel-hotel.
Waktu itu meski sekitar 80 persen penduduk Indonesia masih butahuruf, tapi masyarakat sangat antusias untuk ikut dalam pesta demokrasi di multipartai. Beberapa suratkabar melaporkan bahwa sejak pukul 07.00 pagi, satu jam sebelum TPS dibuka, rakyat sudah datang berduyun-duyun. Seperti hari raya lebaran, warga mengenakan pakaian dan baju baru. Perempuan hamil tua bahkan dikabarkan ada yang melahirkan di TPS dan ibu-ibu jompo yang mendatangi tempat pemungutan suara dengan dibopong oleh keluarganya. Mensukseskan pemilu pertama tersebut di mata masyarakat kala itu dipandang sebagai kewajiban nasional.
Seperti juga sekarang, Antara waktu itu melaporkan bahwa beberapa hari menjelang pemilu situasi di Aceh makin memrihatinkan. Gerakan pemberontakan di daerah ini makin memperhebat aksi-aksinya terhadap pemerintah dan alat-alat negara. Waktu itu, pemerintah Burhanuddin Harapan juga tidak mengenyampingkan kemungkinan penundaan pemilu di Aceh. Lebih-lebih setelah adanya pernyataan dari Panglima Tentera Teritorial I Kolonel Simbolon yang tidak berani menjamin keamanan di daerah ini. Tapi, akhirnya pemilu di wilayah Indonesia paling barat ini berjalan mulus. Teungku Daud Beureuh tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mengganggu pemilu di daerahnya.
Kalau selama masa kampanye pemilu sekarang, maupun pemilu-pemilu sebelumnya banyak korban berjatuhan dan terjadi kerusuhan di berbagai tempat, hal semacam itu tidak terjadi pada pemilu 1955. Hanya seorang Tionghoa bernama Theng Thong Lian, seperti dilaporkan harian Trompet Masyarakat (30/9-1955) yang tewas tertembak saat hendak memasuki TPS di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Peristiwa itu terjadi akibat kelalaian seorang petugas polisi sektor Kebon Jeruk yang berdinas di salah satu TPS. Polisi itu entah bagaimana tiba-tiba mengacungkan senapannya. Tanpa dia sadari ternyata senapan yang telah dikokang itu tidak terkunci. Maka pelurunya pun berhamburan, dan butiran timah panas menembus leher dan dada Theng Thong Lian.
Korban yang anggota Baperki (organisasi partai politik Tionghoa waktu itu) dikabarkan meninggalkan enam orang anak. Dan inilah satu-satunya korban pemilu 1955 di Jakarta.
Yang patut dipuji saat pencoblosan pada pemilu 1955 adalah budaya antre yang benar-benar dipatuhi. Tidak peduli apapun jabatannya, termasuk Presiden Soekarno sendiri juga ikut-ikutan antre.
Menurut Trompet Masyarakat, Bung Karno menggunakan hak pilihnya di Kementerian Penerangan, Jalan Medan Merdeka Barat. TPS di tempat ini diikuti oleh 350 orang. ”Sebagai warganegara biasa Bung Karno berdiri di urutan paling belakang.” Tapi ketika panitia bertanya kepada mereka,
”Apakah saudara-saudara berkeberatan bila Bung Karno didahulukan karena tugas-tugas beliau,” maka yang hadir pun menjawab: ”Tidak.” Bukan hanya Bung Karno yang harus antre, tapi juga para pejabat lainnya. Harian ini melaporkan bahwa PM Burhanuddin Harahap yang menggunakan hak pilihnya di TPS Gedung Olahraga Ikada (kini Monas), harus antre selama satu setengah jam sebelum memasuki TPS. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan mantan PM Ali Sastroamidjojo yang juga memberikan suaranya di sini ikut-ikutan antre pula.
Dalam beberapa hari ini, wajah surat-surat kabar akan dipenuhi angka-angka hasil pemilu. Memperhatikan wajah-wajah surat kabar yang memuat hasil-hasil pemilu 1955, ada hal yang menarik, terutama sebelum PPI secara resmi mengumumkan hasil-hasil perhitungan suara.
Seperti harian Abadi yang lebih menonjolkan keunggulan Masyumi dalam perolehan suara, atau Suluh Indonesia yang mengangkat kemenangan-kemenangan PNI. Tapi yang tampak menonjol adalah liputan Harian Rakyat tentang hasil pemungutan suara yang diperoleh PKI. Seperti di salah satu kelurahan atau kecamatan di Jakarta misalnya, apabila PKI yang unggul, maka judulnya adalah : ”Di kelurahan ….. PKI mengungguli Masyumi.” Sekalipun secara keseluruhan Masyumi unggul di Jakarta.
assalamua’laikum.alhamdulillah abah bikin blog ini, rencananya saya ingin mengumpulkan tulisah abah dalam sebuah blog akan tetapi republika.co.id ternyata hanya mengizinkan mengcopypaste sebulan terakhir saja. akhirnya saya bisa menikmati semua tulisan abah dan kalau boleh saya mentautkan blog abah ke blog saya. terimakasih. wassalamua’laikum
Boleh silakan saja ditautkan ke blog Anda. Abah malah merasa senang.
abah sayang
saya itu memang gandrung dengan hal2 kuno,
jadi saya cukup sering berkunjung ke museum dengan anak, disamping murah, juga meriah 😀
dan walau gak langganan republika,
tapi di kantor kebetulan langganan,
dan walau gak rutin baca,
tapi kolom nostalgia nya abah, adalah salah satu favoriteku
tapi, rupanya baru hari ini, aku tau kalau kolom bapak itu ada versi blognya …!!
ini spt mendapatkan durian runtuh buat saya … 🙂
gara2nya, tulisan bapak hari ini tentang jacobson van den berg,
iseng2 aku googling dengan keyword tersebut,
dan yg dapat blog abah ini salah satunya.
wah senangnya …
terima kasih ya bah…
moga2 diberi kesehatan oleh Allah dan panjang umur dan rejekinya, biar bisa lebih banyak berbagi pada anak negeri ini…
salam
ridei
——-
geocities.com/ridei_mail