Andaikan tak terjadi G30S/PKI, dan Bung Karno lebih lama lagi berkuasa, Jakarta kemungkinan akan jadi markas besar sebuah organisasi dunia untuk menandingi PBB. Untuk mewujudkannya, presiden pertama RI ini sejak jauh hari telah mempersiapkannya. Sebuah gedung megah, yang kini jadi gedung DPR/MPR oleh Bung Karno dibangun untuk penyelenggaraan Conefo (Conference of the New Emerging Forces – Konperensi Negara-negara Kekuatan Baru). Gedung ini diarsiteki oleh almarhum Ir Sutami.
Untuk itu, Bung Karno juga mempopulerkan Nefos (the New Emerging Forces). Nefos, yang akan diikutsertakan dalam Conefo adalah negara-negara dunia ketiga. Nefos merupakan kekuatan anti Oldefos (Old Establish Forces) istilah untuk negara-negara imperialisme dan kapitalisme. Penyelenggaraan Conefo dimaksudkan untuk menandingi PBB yang ketika itu dan hingga sekarang ini, dikuasai oleh negara-negara imperialis dan kapitalis. Karenanya PBB, menurut Bung Karno perlu diritul dan markas besarnya dipindahkan dari New York, Amerika Serikat.
Bahkan, sampai akhir 1966, saat menjelang kejatuhannya, Bung Karno masih yakin Indonesia akan dapat menyelenggarakan Conefo. ”Saya sendiri insya Allah bertekad bulat menyelenggarakan terus Conefo,” ucapnya pada pidato 17 Agustus 1966 berjudul ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah,” yang oleh banyak orang disingkat jadi ”Jas Merah”. ”Kalau bisa didalam gedung Conefo yang kita bangun sekarang dengan banyak rintangan. Kalau tidak bisa karena ”suatu rintangan” kita adakan di tempat lain. Di tengah sawah sekalipun, karena yang penting adalah semangatnya,” katanya waktu itu.
Sebagai puncak ketidaksenangannya pada PBB, Bung Karno pada 7 Januari 1965 mengomandokan: ”Indonesia keluar dari PBB.” Komando ini diucapkan dihadapan lebih dari 10 ribu massa rakyat dalam sebuah rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing di Istora Senayan, Jakarta. Keluarnya Indonesia dari PBB ini mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat waktu itu. Hingga tidak heran ribuan mahasiswa, pemuda, buruh dan tani keesokan harinya turun ke jalan-jalan membawa spanduk sambil mengutuk PBB. Keluarnya RI dari PBB sebagai reaksi terpilihnya Malaysia jadi anggota DK-PBB. Hingga merupakan tamparan bagi politik konfrontasi RI.
Tapi, sebelum konfrontasi dengan Malaysia, Bung Karno pada 30 September 1960 ketika pidato di SU PBB sudah meminta agar badan dunia diritul dan dipindahkan markas besarnya keluar AS. Pidato di SU PBB itu oleh Bung Karno diberi judul ”Membangun Dunia Baru,” (To Build the World Anew). Ia mendapatkan berkali-kali tepuk tangan saat menyampaikan pidatonya yang berapi-api itu.
Sedangkan pada Nopember 1963, di Jakarta diselenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang sukses dan diikuti 58 negara. Penyelenggaraan Ganefo ini untuk menandingi Olimpiade Dunia. Apalagi waktu itu Indonesia telah keluar dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Karena IOC menghukum Indonesia yang pada Asian Gemes di Jakarta (1962) menolak ikut sertanya Israel dan Taiwan. Tanpa mau mempedulikan tekanan dari IOC yang memaksa RI mengikutsertakan kedua negara.
Sejak saat itu Bung Karno makin gencar mengutuk PBB. Yang berakhir dengan keluar RI dari organisasi dunia ini. ”PBB dalam susunannya yang sekarang tidak mungkin dipertahankan lagi. Dengan menguntungkan Taiwan dan merugikan RRC (waktu itu Cina diwakili oleh Taiwan), menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab, PBB nyata-nyata menguntungkan imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa,” tegas Bung Karno.
Dalam pidato 17 Agustus 1965 (Berdikari), Bung Karno banyak mengecam PBB. Menurut Bung Karno, kalau organisasi dunia ini tidak dirombak samasekali, PBB bukan saja akan ditertawai sebagai mimbar omong kosong, tetapi lebih jelek dari itu. ”PBB akan dikutuk sebagai badan yang lebih buruk dari Volkenbond, dan malahan lebih buruk daripada semua parlemen kapitalis digabung jadi satu,” tegasnya.
Dalam nada yang lebih keras Bung Karno 35 tahun lalu menuduh PBB mewakili dan menindas rakyat-rakyat negara jajahan, dan terang-terangan jadi corongnya kaum imperialis. Ketika tidak lagi berkuasa, Bung Karno masih menyaksikan bagaimana Israel yang menjadi sekutu AS tidak mempedulikan resolusi DK-PBB tahun 1967 yang mendesaknya mundur dari negara-negara Arab yang didudukinya. Sementara negara-negara Barat tidak menggubris samasekali pembangkangan Israel ini.
Sejak terjadinya insiden penyerangan kantor UNHCR di Atambua yang menewaskan tiga pekerja PBB, Indonesia kembali menghadapi tekanan PBB. Tanpa mau tahu bagaimana rumitnya masalah dihadapi dalam soal pengungsi. Bahkan, Direktur Bank Dunia James Walfensohn mendesak Presiden Gus Dur agar menghentikan kekerasan di Timur Timor atau menghadapi resiko kehilangan dukungan finansial. Hingga tidak heran banyak pihak berrharap agar pemerintah tidak gentar menghadapi tekanan PBB ini. Seperti yang telah ditunjukkan Bung Karno.
saya sangat setuju sekali dengan sikap dan keberanian Bunk Karno utk melawan PBB.PBB hnyLh organisasi pelindung negara liberal,dn imprelialisme yg ingin menjajah negara yg sedang “SAKIT”.contohnya adlh amerika nyg suka mencapuri urusan politik negara timur tengah sprti IRAK dn IRAN.namun PBB hnya diam saja seakan tdk tahu.PBB is fu*kin Organisation
Yang pasti orang besar macam beliau ini sudah mengendus “there’s something wrong” di PBB dan siapa yang ada dibelakangnya berikut agenda2nya
Dan kejatuhan beliau pun berindikasi kuat adanya konspirasi internasional dari negara2 dan pihak2 yang khawatir dengan ketegasa dan sikap beliau ini
🙂
iyah lah bug korno kan keren
Kapan ya punya pemimpin sekualitas Bung Karno lagi..?
Hebat,sebetul nya PBB ada lah organisasi boneka dr amerika jd yang lain hanya sebagai pelengkap aja
seandai nya kita mau membuat poros baru ditatanan dunia saat ini kekuatan terbesar ada lah minyak jd cukup kita gandeng iran venezuela 1 lagi negara kaya minyak pastiamrik bakalan kalang kabut arabsaudi ngak bakal bisa mencukupi kebutuhan minyak dunia kita dan sekutu kita tinggal tunggu 1 / 2 bulan minyak naik dan baru kita keluarkan minyak yang kita puya
Itu memang bagus, ente punya pemikiran yang menjadi masalahkan negara-negara arab saja tidak mau bersatu bagaimana mau kalahkan AS