Di sebelah kiri Departemen Luar Negeri (Deplu) terdapat sebuah gedung yang masih tampak antik dan anggun sekalipun usianya lebih dari satu abad. Gedung yang terletak di jalan Pejambon, Jakarta Pusat, ini pada masa kolonial Belanda bernama Hertogweg (jalan Hertog).
Dulu di jalan ini terdapat sebuah taman indah bernama Hertog Park yang diambil dari nama penghuni gedung tersebut, Hertog Bernhard (1792-1862), panglima tentara Hindia Belanda. Banyak peristiwa bersejarah berlangsung di gedung ini. Antara lain, pada 1 Juni 1945, Bung Karno pernah berpidato selama satu jam di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pidato ini kemudian dijadikan sebagai falsafah negara: Pancasila. Karenanya gedung yang pernah menjadi markas departemen kehakiman dan BP7 ini kini bernama Gedung Pancasila. Jauh sebelumnya, gedung bercat putih ini pernah menjadi tempat Volkraad, semacam parlemen bikinan kolonial Belanda, bersidang. Di gedung ini pulalah pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, PPKI dalam sidangnya memilih Bung Karno sebagai presiden, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Sidang juga mengesahkan UUD RI yang kita kenal dengan UUD 1945.
”Dalam pertemuan inilah mereka memilihku dengan suara bulat sebagai presiden,” ujar Bung Karno dalam biografinya seperti ditulis Cindy Adams. ”Tak kuingat kejadian itu sampai soal-soal kecil seperti misalnya, siapa sebenarnya yang mengusulkanku. Aku hanya ingat seseorang mengeluarkan ucapan yang digetari oleh kata-kata berilham seperti, nah, kita sudah bernegara dan memerlukan seorang presiden.
Bagaimana kalau kita memilih Soekarno.” Setelah dipilih sebagai presiden, Soekarno pulang ke kediamannya di jalan Pegangsaan Timur (kini jalan Proklamasi) 56, Jakarta Pusat. Saat perjalanan pulang Bung Karno bertemu seorang tukang sate. ”Aku lalu memanggil penjaja yang berkaki ayam dan tidak berbaju itu, dan mengeluarkan perintah pertama: sate ayam 50 tusuk.”
Bung Karno menceritakan, ia makan sate sambil jongkok dekat selokan dan kotoran. ”Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatanku sebagai kepala negara.” Sampai di kediamannya Bung Karno memberitakan kepada Ibu Fatmawati atas terpilihnya dirinya sebagai presiden. Tapi, istrinya itu, seperti diungkapkan Bung Karno, tidak meloncat-loncat kegirangan. Yang jadi masalah kemudian adalah presiden perlu punya kendaraan yang layak.
Maka beraksilah Sudiro dari Barisan Pelopor segera menyerobot kendaraan milik Kepala Jawatan Kereta Api Bangsa Jepang untuk menjadi kendaraan Bung Karno. Mobil Buick tersebut merupakan kendaraan paling bagus di Jakarta kala itu.
Bagi wartawan yang pernah bertugas di istana semasa pemerintahan Presiden Soekarno pasti banyak memiliki pengalaman menarik mengenai sosok proklamator ini. Bung Karno dikenal sangat akrab dengan wartawan. ”Bapak sering ngobrol dengan para wartawan, baik diteras depan maupun teras belakang Istana Merdeka,” tutur Ita Syamsuddin, wartawan ANTARA yang bertugas di istana sejak 1960 sampai berakhirnya kekuasaan Bung Karno.
Pada saat-saat bersantai dengan wartawan tersebut Bung Karno sering menanyai kehidupan para wartawan satu persatu. Seperti, apakah sudah punya pacar. Atau menanyakan tentang kehidupan keluarga bagi yang sudah beristri atau bersuami. Bung Karno juga sering mengajak para wartawan untuk makan bersama. Terutama bila ada acara di Istana Bogor, saat makan siang atau sore malam, Bung Karno seringkali bergabung dengan para wartawan.
Para wartawan sendiri tidak merasa minder sedikit pun saat ngobrol dengan Bung Karno karena keterbukaannya itu. Bung Karno juga sangat memperhatikan penampilan wartawan. Dia sering mendandani dasi para wartawan yang bertugas di Istana. Bahkan tidak jarang menghadiahkan dasi pada wartawan. ”Wartawan harus gagah, dan berpakaian rapi, jangan jelek,” kata Bung Karno seperti dituturkan Ita. Ketika Bung Karno mengucapkan demikian, kebetulan ada Menteri Perdagangan Ahmad Yusuf yang kemudian membagikan setelan jas pada wartawan. ”Saya sendiri dapat baju kebaya dan kain batik yang halus,” tutur Ita.
Begitu akrabnya Bung Karno dengan wartawan, hingga ia sering mengajak wartawan berkeliling kota dengan minibus cakrabirawa (pasukan pengawal kepresidenan). Di kendaraan, para wartawan bebas memilih tempat duduk dan sewaktu-waktu dapat mendekat kepadanya.
Suatu ketika ditengah jalan Bung Karno melihat tukang rambutan, ia lalu membeli sepuluh ikat sesuai jumlah rombongan di mini bus. Tapi, ketika hendak membayar dan merogoh kantong celananya ternyata Bung Karno tidak membawa uang. Ia pun memanggil seorang pengawal yang berada dalam jeep, tapi seorang wartawan segera membayarnya. Bung Karno melarangnya, tapi penjual rambutan sudah menerima uang tersebut, dan langsung ngeloyor. ”Nanti Bapak ganti. Bapak kan ingin mentraktir para wartawan,” ujarnya.
Bung Karno juga selalu membaca hasil liputan wartawan. Karena perhatiannya terhadap berita-berita, maka tiap pukul 04.00 pagi seorang kurir dari istana datang ke bagian percetakan Antara untuk mengambil buletin berita. Ita menuturkan, Bung Karno pernah sangat marah ketika melihat foto yang disiarkan Antara di koran-koran dengan rata-rata judul: rakyat tengah berebutan memungut beras yang tercecer di Tanjung Priok.
Menurut Bung Karno, foto tersebut merupakan propaganda dari pihak yang tidak senang kepada Indonesia. ”Seolah-olah rakyat Indonesia kelaparan,” ujar Bung Karno. Menurut Bung Karno, rakyat Indonesia tidak mungkin mengalami kelaparan karena makanan pokoknya tidak hanya beras, tapi juga sagu, jagung, dan ubi-ubian.
Pada masa itu, Bung Karno yang juga memelopori diversifikasi pangan sering mengundang para diplomat sarapan di istana sambil menikmati jagung rebus. Karenanya, dalam pidato 17 Agustus 1965, Presiden Soekarno mendeklarasikan bahwa Indonesia tidak akan mengimpor beras lagi.
Saya senang sekali mendapatkan tulisan2 tentang Bung Karno
mudah2an akan banyak tulisan2nya bermunculan yg memberikan semangat .
Thanks untuk Artikel2 Bung Karno’ nya Om Alwi, Semangat trus!!!