Menjelang tahun baru Imlek hujan hampir tiap hari mengguyur Ibukota. Bagi masyarakat Cina, hujan saat Imlek dianggap seperti rezeki ngocor dari langit. Tapi malapetaka akibat banjir lebih berat. Lebih-lebih mereka yang tinggal di bantaran sungai. Dari lebih 10 juta penduduk Jakarta, ratusan ribu mungkin juga lebih yang mendiami bantaran sungai. Hingga, gubernur Sutiyoso minta agar mereka mau direlokasi ke rumah susun sebagai tempat tinggalnya yang baru.
Banjir bukan masalah baru bagi warga Jakarta. Bahkan ada yang menyesalkan kenapa gubernur jenderal JP Coen saat mendirikan Batavia tidak di daerah lebih tinggi. Tapi banjir di tempo doeloe tidak separah sekarang. Ketika itu sungai lebar-lebar dan di kiri kanannya tidak dipenuhi rumah. Airnya jernih meskipun kecoklatan dan belum tercemar limbah. Penduduk membakar sampah setiap sore. Kebiasaan ini disebut nabun atau membakar tabunan. Karena sungai-sungai juga berfungsi sebagai tempat MCK (mandi, cuci dan kakus), tidak ada yang membuang sampah ke sungai. Untuk menjaga kebersihan lingkungan, anak-anak dilarang membuang kotoran sembarangan.
Kala itu jumlah sungai lebih banyak dari sekarang. Sungai-sungai kecil mengalir di kampung-kampung. Anak-anak suka menangkap ikan julung-julung dan pala timah. Sesudah hujan turun, mereka mandi di kali, yang disebut ngebak. Lompat-lompatan sambil menciprat-cipratkan air. Saat banjir, sering banyak ikan mabuk, mengambang dan orang-orang rebutan menangguknya. Sekarang, bukan hanya ikan, kecebong juga emoh hidup di sungai.
Rumah penduduk saat itu terbuat dari bambu dan kayu. Ada juga yang terbuat dari batu, disebut rumah gedongan, tapi tidak banyak. Mereka yang penghasilannya lumayan bisa memiliki rumah setengah batu dan setengah kayu. Pagarnya terbuat dari bambu. Tidak ada pagar yang tinggi seperti sekarang, hingga antar tetangga masih bisa saling kenal.
Seringkali di halaman rumah tumbuh pohon seri, saga, kingkit, dan tanaman obat-obatan yang kini disebut apotik hidup. Kala itu, mereka yang sakit diare atau malaria biasanya minum obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan. Maklum dokter masih sedikit. Kalau anak-anak sakit seperti badannya panas biasanya ke dukun sembur. Segelas air putih setelah dibacakan doa oleh orang yang dituakan atau kyai kemudian diminumkan pada si anak.
Suasana kampung yang masih hijau royo-royo kini sudah sangat jarang terdapat. Akibat lebih dari 60 persen uang beredar di Jakarta, kota ini jadi kepadetan penduduk untuk mengadu nasib. Kini banyak kampung lama yang mengalami perubahan, bahkan ada yang sudah tidak ada. Menjadi hutan beton, berupa pusat perdagangan, kantor, dan perumahan modern. Namun, pertumbuhan pemukiman makin tidak teratur. Saluran air banyak yang tidak bekerja. Pohon banyak yang ditebang. Sementara masyarakat makin tidak peduli terhadap keindahan kotanya. ”Jakarta sekarang kurang indah, dibandingkan tempo doeloe ketika bernama Betawi,” kata Yahya Andi Saputra, seniman dan budayawan Betawi.
Masih cerita tentang sungai, dulu di Jakarta banyak terdapat eretan. Eretan adalah prasarana angkutan penyeberangan sungai di Jakarta tempo doeloe. Sarana angkutan ini berupa getek terbuat dari satu atau dua lapis deretan bambu-bambu bulat panjang. Gagasan membuat eretan didorong oleh kebutuhan masyarakat akan angkutan penyeberangan kala itu, terutama mereka yang sering bepergian dengan menyeberangi sungai. Kala itu, sungai-sungai yang mengalir di Jakarta arusnya masih cukup deras, jarak kedua tepiannya masih lebar dan sungainya cukup dalam.
Karena menyangkut kebutuhan masyarakat, eretan kala itu bisa dijadikan kegiatan usaha yang mendatangkan keuntungan bagi para pemiliknya. Usaha eretan tidak mengenal istirahat, karena selalu dibutuhkan masyarakat dalam bepergian, baik di hari kerja maupun libur.
Sampai akhir 1950-an, antara keluruhan Kwitang dengan kampung Kalipasir di kelurahan Gondangdia masih dihubungkan dengan eretan. Tempat-tempat penyeberangan tidak pernah sepi dari para pengguna jasa angkutan ini, baik siang maupun malam. Tarip penyeberangan cukup murah, sekitar sepicis atau 10 sen per orang. Setelah tahun 1960-an, eretan yang menghubungkan Kwitang-Kalipasir sudah tidak ada lagi dengan dibangunnya jembatan. Tapi sampai sekarang, Gang Eretan di Kalipasir masih sering diucapkan orang Betawi yang tinggal di kedua kampung yang dipisahkan sungai Ciliwung.
Orang Betawi di abad ke-16 sampai abad ke-19 banyak berprosesi menjadi tukang prau. Tidak kurang banyaknya yang jadi tukang binatu (penatu), mencuci pakaian di di tepi-tepi sungai. Saking banyaknya sungai di Jakarta, apalagi Belanda membangun banyak kanal atau terusan, Batavia pernah dijuluki sebagai ‘Venesia’ dari Timur. Venesia adalah sebuah kota di Italia yang dikelilingi sungai-sungai. Kota ini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara, untuk menikmati keindahannya dengan berperahu.
Pemerintah Hindia Belanda di zaman VOC konon pernah mengeluarkan larangan agar para wanita istri mereka tidak mandi di sungai atau kanal tanpa busana. Karena mengundang protes, terutama dari kalangan pribumi. Kini banyak sungai kecil dan kanal sudah menghilang dari Jakarta. Seperti nama Cililitan di Jakarta Timur. Nama Cililitang diambil dari salah satu anak sungai Cipinang. Sekarang anak sungai itu sudah tidak ada lagi. Kata ‘ci’ dalam bahasa Sunda berarti kali atau sungai. ‘Lilitan’ adalah nama sejenis tanaman perdu.
Waktu tahun 70an saya kesekolah BHK nyeberang dari Dr.Latumenten grogol naik perahu.. orang2 nyebutnya “getek” kita bayar Rp 5,-
Buat “eretan” mungkin jalurnya ga sependek “getek”.. seharusnya pemerintah mencadangkan dana buat kali-bersih total. supaya kali dijakarta yang jumlahnya sangat banyak bisa menjadi objek wisata..
Dana reklame yang masuk ke Pemda demikian besar, seharusnya dialihkan juga buat perbaikan alam yang lebih berarti. Atau 2,5% saja dana samsat rasanya sudah cukup kog buat benerin kali kita yang semakin membusuk ini.
Djakarta itu aslinya kota sungai, dan tanahnya subur lho!
Waktu kecil sampai tamat SD, 1968, saya tinggal di Pisangan Lama. Di situ ada saluran pembuangan air limbah, lebarnya kira-kira 3 meter. Konon, saluran itu dulu dibangun oleh pemerintah kolonial dan merupakan saluran air bersih yang dijaga oleh opas. Airnya bersih tetapi penduduk tidak boleh mencuci dan mandi di saluran itu. Kalau ketahuan dipakai untuk cuci atau mandi, bakal dihukum oleh opas. Saluran itu telah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga. Kalau hujan turun air hujan akan mengalir sepanjang saluran itu, terus sampai ke Rawamangun. Kalau musim hujan, Rawamangun itu dulu air semua.
Dari Pisangan Lama sampai Cipinang Kemembem, dulu banyak kebun-kebun buah-buahan: mangga, rambutan, kecapi, dll. Sekarang sudah jadi rumah semua.
Jakarta sudah tidak hijau lagi. Wuih, panasnya.
Dulu pada masa Belanda berkuasa, membuang sampah dan kotoran di sungai bisa ditangkap Opas. Belanda banyak membangun kanal-kanal untuk menyalurkan bila terjadi banjir. Sayangnya kini kanal-kanal tersebut sudah menjadi perumahan sehingga Jakarta sering kebanjiran. Sementara kebun-kebun yang menjadi paru-paru kota dibabat habis tanpa mengenal ampun.
Keluarga Kami keturunan raden Natadiredja yang tinggal di daerah pisangan lama. tetapi keluarga kami tidak henti-hentinya diteror orang-orang yang sepertinya menyebut namanya jatinegara kaum.memangnya ada masalah apa sih kubu keluarga pisangan lama/pisangan timur dengan kubu jatinegara kaum?kalau diperhatikan Kubu kami memang saling berseberangan dimana tempat kami dipisahkan oleh rel kereta api.Kemudian penyelesaiannya apa dan harus bagaimana? karena sepertinya masalah kami tidak akan pernah berhenti. Kami kasihan dengan anak-anak dan cucu-cucu kami suatu saat nanti kalau suatu saat nanti mereka dewasa dan hanya tumbuh menjadi manusia-manusia yang bisanya mengurusi masalah yang tidak kunjung reda dan tidak masuk akal.
Kemudian bagaimana Iman dan Takwanya kepada ALLAH SUBHAHANAALLAH WATAALA. Pokoknya Keluarga kami sangat mengkhawatirkan hal itu…
Jalan kelurnya harus dicari titik permasalahan yang terjadi selama ini. apa sebabnya orang-orang yang menyebut dirinya kubu jatinegara kaum selalu menteror keluarga raden Natadiredja. Permasalahan ini harus dimusyawakan dengan aparat pemerintah seperti Rt, Lurah, dan Kepolisian setempat.
selain itu di daerah belakang stasiun jatinegara atau pisangan timur/pisangan lama juga jalanan kotor dan sempit. Kalau setiap hujan selalu becek di daerah pasar enjo. selain itu kapan ya bisa diadakan pelebaran jalan karena ngeri juga bawa mobil mewah masuk kedaerah sana. Takutnya tergores dan pasti tidak tega juga minta ganti rugi. Habisnya gimana ya kalau tidak diganti karena mobil yang bagus mencerminkan kepribadiannya kan?Tapi tergantung mood juga sih. Kalau hati lagi adem ya gak usah ada ganti ruginya…………….
Emangnye siape yg jlnin entu mobil pake minta diganti segale, na …. klu entu jlnin musinye lapor kelurahan aje nanti ditindak lajutin ke atasanye deh