Ketika artikel ini dibuat, Asian Games (AG) di Doha, Qatar, hampir usai. Kontingen Indonesia di pesta olahraga paling bergengsi di Asia itu menduduki urutan ke-21. Berada di bawah Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina sesama negara ASEAN. Prestasi olahraga Indonesia yang berpenduduk 210 juta jiwa kini benar-benar anjlok. Kita berada di bawah Singapura negara pulau yang berpenduduk empat juta jiwa. Di bawah Vietnam yang baru muncul di bidang olahraga pertengahan 1970-an setelah berakhirnya perang di negeri itu. Bahkan, dalam SEA Games di Manila (2005), kontingan Indonesia yang telah beberapa kali jadi juara umum melorot ke urutan kelima.
Tim sepakbola kita juga digilas Irak 0-6 negara yang sedang kacau balau. Padahal, tim sepakbola Indonesia sampai tahun 1970-an dan awal 1980-an sangat disegenai di Asia. Lebih unggul dari Korea dan Jepang.
Indonesia sendiri pernah menjadi tuan rumah AG IV di Jakarta (Agustus 1962). Sekalipun income per kapita kita saat itu masih di bawah 100 dolar AS, tapi guna mensukseskan AG IV, Presiden Soekarno membangun kompleks OR di Senayan seluas 270 ha, dengan stadion utama yang dapat menampung 110 ribu penonton, yang kala itu dibanggakan sebagai stadion terbesar di dunia.
Dengan tergusurnya beberapa kampung di Senayan, ribuan warga Betawi setelah mendapat ganti rugi di tempatkan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sebagian besar adalah petani buah, pengrajin batik, tukang ketupat sayur keliling dan pedagang kecil lainnya.
Bagi kontingen Indonesia, AG IV merupakan sukses besar. Merenggut 51 medali ter maswuk medali emas. Nama Sarengat, mahasiswa kedokteran UI jadi termashur ketika meraih medali emas nomor lari 100 meter dan lari gawang 110 meter. Untuk lari 100 meter, Sarengat yang kemudian menjadi dokter Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX mencatat 10,4 detik. Rekor ini bertahan puluhan tahun.
Dalam suasana Demokrasi Terpimpin, yang menempatkan politik di atas segala-galanya, bagi Bung Karno olahraga tidak dapat dipisahkan dari politik. Meskipun harus menghadapi tantangan keras dari Komite Olimpiade Internasional (KOI), dia bukan saja tidak mau mengundang, tapi menolak kehadiran Israel dan Taiwan.
Penolakan terhadap Israel itu sebagai rasa solidaritas bangsa Indonesia terhadap rakyat Palestina dan Arab. Sedangkan penolakan terhadap Taiwan, karena kedekatan Indonesia terhadap RR Cina. Sementara itu, RR Cina dan Korea Utara yang bukan anggota KOI diundang sebagai bagian dari komitmen politik Indonesia.
Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa Sondhy, seorang petinggi KOI yang kebetulan berkebangsaan India. Bukan hanya Bung Karno, tapi rakyat Indonesia menjadi marah besar ketika Sondhy menyatakan bahwa legimitasi AG IV Jakarta harus dipertanyakan. Ketika itu, Sondhy tengah berada di Jakarta menghadiri pertandingan-pertandingan. Sikap itu juga karena Sondhy adalah diplomat dari India negara yang sedang konflik dengan RR Cina.
Sondhy terpaksa harus keluar dari Indonesia, karena demonstrasi dari rakyat — terutama kelompok kiri dan kemarahan dari pemerintah Indonesia. Saya merasakan, saat itu demo-demo anti India marak di mana-mana. Dan, yang paling berdebar-debar tentu saja para pemilik toko India di Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Abdul Rachim (68 tahun) menceritakan kepada saya, bahwa karena Bung Karno bersahabat dengan sejumlah tokoh India di Jakarta, ia terlebih dulu memberitakan akan terjadinya demo-demo anti India. Maksudnya agar mereka waspada. Memang, kata Abdul Rachim, sekalipun terjadi demo di Pasar Baru dan beberapa mobil milik warga India dibakar serta toko India dilempari batu. Tapi, kata Rachim, yang tinggal di dekat Pasar Baru, kejadian tersebut tidak separah kalau saja Bung Karno tidak memberitahu teman-teman Indianya.
Terhadap reaksi KOI tersebut, Bung Karno justru melakukan perlawanan keras. Ia bukan saja tidak mengakui komite tertinggi olahraga dunia itu, tapi membuat komite tandingan. Sambil menuduh KOI sebagai alat imperialis. Dengan membagi dunia dalam dua kelompok Nefos (negara berkembang dan dunia ketiga) dan Oldefos (negara imperialis) Bung Karno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forcing) pada bulan Nopember 1963 di Jakarta.
Walaupun mendapat ancaman dari KOI pesertanya tidak boleh turut dalam Olimpiade tapi Ganefo yang dimaksudkan untuk menandingi Olimpiade berlangsung sukses. Diikuti 2.200 atlet dari 48 negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa.
Pada waktu hampir bersamaan Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden No 263/1963 mencanangkan Indonesia menjadi 10 besar dalam bidang olahraga di dunia. Bagi Bung Karno, olahraga merupakan bagian dari revolusi guna mengharumkan nama bangsa. Dan revolusi Indonesia, seperti sering ditegaskannya, adalah revolusi multikompleks termasuk bidang olahraga.
Untuk mencapai target 10 besar dunia itu Bung Karno juga mendorong 30 persen warga Indonesia untuk secara aktif jadi bagian dalam kegiatan-kegiatan olahraga. Caranya, mengintensifkan program olahraga sejak SD dan pembangunan kelengkapan sarana materiilnya. Kala itu penduduk Indonesia baru 100 juta jiwa
Tinggalkan Balasan