Ketika menjadi wartawan Kantor Berita Antara (1963-1993) ada seorang jurufoto bernama Nurdin AS. Saya tidak tahu apa kepanjangan AS itu. Badannya tidak lebih dari 155 cm dan beratnya ‘hanya’ sekitar 45 kg. Meski sebagai jurufoto dia harus terjun ke lapangan.
Nurdin selalu berpakaian cukup necis atau trendy menurut istilah sekarang. Tangan kirinya memakai gelang emas, seperti peneng yang harus dikenakan para jamaah haji Indonesia selama di tanah suci agar gampang dikenali bila tersasar. Pokoknya, penampilan Nurdin jauh lebih unggul dibanding rekan-rekan wartawan lainnya.
Nurdin juga memiliki sebuah mobil Fiat buatan Italia, padahal ketika itu umumnya wartawan kalau meliput naik bus atau becak.
Suatu ketika juruwarta yang sampai akhir hayatnya tetap membujang ini, membuat sebuah kejutan. Ketika dia mengabadikan sebuah foto rakyat tengah berebutan menyapu beras yang berceceran di jalan dekat pelabuhan Tanjung Priok. Rupanya beras di dalam karung saat diangkut ke truk seringkali dijegal di tengah jalan. Karungnya mereka bolongin hingga berasnya berceceran.Rupanya peristiwa itu sudah terjadi sejak lama hingga Nurdin mendatangi tempat tersebut. Meskipun ketika itu kebebasan pers dikekang, tapi foto tersebut dimuat juga oleh sejumlah harian Jakarta.
Maka, ketika wartawati Antara, Ita Syamsudin, tengah meliput acara di Istana, dia dipanggil Bung Karno. Presiden Sukarno memang akrab dengan para wartawan yang meliput kegiatan kepresidenan. Lebih-lebih dengan Ita Syamsuddin. Bahkan dialah yang mengganti nama depan Itje yang berbau Belanda dengan Ita.
”Ita, kau lihat foto dan berita ini?” Bung Karno bertanya dengan nada marah. ”Ya, saya lihat. Apa salahnya? Itu adalah foto yang telah berbicara sendiri,” katanya tanpa merasa bersalah, seperti ditulisnya dalam buku Catatan Politik Pengalaman Wartawan Antara. Kemudian Bung Karno berkata, ”Antara sebagai alat revolusi tidak boleh menyiarkan foto yang demikian.”
Kemarahan Bung Karno itu diwujudkan keesokan harinya dengan memanggil para pimpinan Antara, yang kala itu terdiri dari unsur-unsur Nasakom. Tapi, dalam situasi politik yang panas kala itu, para pimpinan Antara tidak pernah berhenti dari konflik diantara mereka.
Setelah memanggil para pimpinan Antara, Bung Karno mengatakan pada Ita, ”Pimpinan Antara sudah saya marahi. Mereka mengaku sudah kebobolan. Tapi, tahukah kamu Ita, bahwa foto itu mungkin saja dilepas pihak komunis dan mungkin pihak kolonialis, yang keduanya tidak menghendaki kemakmuran Indonesia.”
Indonesia, menurut Bung Karno, sebenarnya tidak kekurangan pangan. ”Rakyat Indonesia tidak hanya makan beras. Hal ini selalu kukatakan pada wartawan-wartawan asing yang menanyakan apakah rakyat Indonesia kekurangan pangan.”
Pengarang AS Louis Fischer dalam bukunya, The Story of Indonesia, ketika menanyakan soal keluarga berencana, Bung Karno bersikukuh menyatakan Indonesia — ketika itu berpenduduk sekitar 90 juta jiwa — tidak perlu keluarga berencana.
Bung Karno pernah menyebutkan bahwa di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi masih banyak daerah yang kosong, hingga dapat memberi makan 250 juta penduduk.
Bung Karno memang tidak mengartikan pangan hanya dengan beras. Berdasarkan kenyataan ketika itu, tidak seluruh rakyat Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Karenanya, sampai menjelang kejatuhannya ia selalu tidak henti-hentinya menganjurkan agar rakyat Indonesia juga makan jagung, sagu dan ubi-ubian.
Untuk itu, Bung Karno disamping sering sarapan bersama dengan ubi dan singkong di Istana bersama para wartawan, juga mengundang para diplomat asing. Terutama teman akrabnya, Dubes Amerika Serikat Howard P Jones. Termasuk di depan televisi.
Dalam suasana menggalakkan diversifikasi pangan itulah Bung Karno menjadi marah besar melihat foto beras berceceran diperebutkan rakyat dan disiarkan Antara. Padahal, merupakan kenyataan bahwa situasi ketika itu dari hari ke hari memang tidak menyenangkan. Seperti juga sekarang, rakyat kecil makin susah mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Antri beras terjadi di mana-mana.
Dalam pidato 17 Agustus 1964 berjudul Tavip (Tahun Vivere Pericoloso) atau Tahun Nyerempet-nyerempet Bahaya yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia, Bung Karno menegaskan, ”Sejak 17 Agustus 1964 ini saya menghendaki kita tidak akan membikin kontrak baru bagi pembelian beras dari luar negeri!” kata Bung Karno.
”Selain membasmi hama tikus dan hama-hama lain, selain memberantas segala pemborosan, segala pencoleng-pencoleng kekayaan negara dan pengacau-pengacau ekonomi, kalau perlu dengan menembak mati mereka, maka saya minta Saudara-saudara berkorban pula di atas ‘lapangan makanan’ ini,” tambah Bung Jarno.
Produksi beras kita, menurut Bung karno, sebenarnya sudah cukup! ”Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu! Tambahlah menu berasmu dengan jagung, dengan ubi, dengan lain-lain. Jagung adalah makanan sehat, kacang adalah makanan sehat! Saya sendiri sedikitnya seminggu sekali makan jagung, dan badanku, lihat, adalah sehat.”
Tinggalkan Balasan