Sekarang mari kita susuri daerah selatan. Pada 1648 seorang kapten Cina, Tio Bing Ham, mendapatkan izin menggali kanal di selatan kota mulai dari gerbang baru (Nieuwpoort), Jakarta Kota, lurus ke selatan sampai Kali Krukut (Tanah Abang). Setelah diambil alih pada 1661, kanal ini diberi nama Molenvliet (di tengah-tengah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk).
Molenvliet berarti selokan molen (kincir). Selain untuk lalu lintas perahu dan menghanyutkan kayu dari hutan-hutan sekitarnya, kanal ini dipakai mengalirkan air yang menggerakkan molen-molen yang dibangun di sekitar kanal.
Untuk keperluan tersebut di sebelah selatan Noordwijk (kini Jl Juanda), Ciliwung dibendung dan airnya dialirkan ke dalam kanal yang digali pada 1654, lalu disalurkan ke Molenvliet. Agar air Ciliwung tetap mengalir, dibangun pula sebuah pintu air di ujung utara Molenvliet (Jl Gajah Mada-Hayam Wuruk), sehingga kincir penggergajian kayu, kincir pembuatan mesiu, penggilingan gandum, dan kincir lainnya dapat terus bergerak.
Penggalian kanal-kanal di luar kota (sebutan kala itu untuk kawasan Harmoni dan Molenvliet), penting artinya bagi perkembangan Batavia (Jakarta) pada periode-periode selanjutnya. Kecuali keadaan di dalam benteng, kebutuhan akan ruang-ruang yang lebih luas dan udara yang lebih segar mulai dirasakan penduduk kota. Sejak pertengahan abad ke-17 lingkungan di sekitar kota sudah lebih aman, baik dari ancaman binatang buas maupun gangguan dari perusuh yang biasa berkeliaran di sekitar kota. Di kanan kiri kanal-kanal yang digali itu muncul kebun-kebun dengan gubuk-gubuk kecil yang lama kelamaan berkembang menjadi tempat permukiman penduduk. Banyak juga jembatan yang dibangun di atas kanal-kanal yang beberapa di antaranya masih berdiri sampai sekarang ini.
Pada 1735 Julius Vinck membangun Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Untuk memudahkan arus jual beli ia membuka jalan dan membangun jembatan yang menghubungkan kedua pasar itu melewati Kampung Lima (kini Jl Sabang), Simpang Senen sampai Kramat. Ketika Jacob Mossel menjadi gubernur jenderal (1751-1761), dia menggali terusan (kanal) mulai dari Ciliwung menuju terusan sepanjang Gunung Sahari, sehingga jalan masuk ke pasar menjadi lebih mudah. Demikian pula untuk menghubungkan vila mewahnya yang dibangun di tepi tikungan Ciliwung (kini RSPAD Gatot Subroto-Senen). Sedangkan terusan atau parit yang digali Gubernur Jenderal Mossel, sekarang bernama Kali Lio bersebelahan dengan Atrium Senen yang dibangun 1980-an. Kali Lio, yang dulu dilalui perahu-perahu pedagang, kini menjadi got besar.
Sebuah garis pertahanan yang dikenal dengan Defensie lijn Van den Bosch, yang dulunya merupakan parit (kanal) bertanggul rendah, menjulur dari titik di mana sekarang terdapat Stasiun Senen. Dari situ menuju Bungur Besar, kemudian membelok ke barat melalui Krekot-Sawah Besar-Gang Ketapang (Hasyim Asy’ari). Lalu parit ini menuju selatan melalui Petojo sampai sebelah barat Medan Merdeka. Kemudian ke Tanah Abang melalui Kebon Sirih-Jembatan Prapatan terus ke Jembatan Kramat (Kramat Bundar sekarang). Garis pertahanan van den Bosch kini menjadi jalan biasa seperti juga sejumlah kanal di Jakarta.
Kita kembali lagi ke kanal-kanal di kawasan Jakarta Kota. Masyarakat sekarang hanya mengetahui Pancoran di Glodok hanyalah pusat perdagangan dan perniagaan bergengsi di Jakarta. Pancoran dulunya merupakan kanal. Demikian pula kawasan perdagangan lain, yakni Pinangsia. Pemda DKI Jakarta beberapa waktu lalu melakukan penertiban para pedagang kaki lima di Pancoran, yang ternyata berjualan di area kanal. Sekarang, kanal ini coba difungsikan kembali.
Kalau kita menuju Jakarta Kota naik kereta api, di depan Stasiun Beos ada sebuah tempat bernama Jembatan Batu. Di batas tembok benteng Batavia ini, dulunya juga merupakan kanal. Masuk sedikit ke arah Jakarta Kota, kita akan mendapati kawasan Petak Baru dan Tongkangan yang kini merupakan jalan tol ke Bandara Cengkareng. Dulunya, kawasan ini juga kanal. Masih banyak lagi kanal yang dulu merupakan jalur sungai di kawasan kota. Belanda juga melakukan penyodetan terhadap kanal Molenvliet. Di sebelah barat menjadi kanal Pancoran dan di sebelah timur Pinangsia.
Tentu timbul pertanyaan, mengapa puluhan kanal ini sirna begitu saja di Jakarta? Gubernur Jenderal Herman Daendels (1809-1811) ketika itu telah mendapat perintah memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan dan Kota ke Weltevreden (Monas, Lapangan Banteng, dan Gunung Sahari). Dengan alasan Batavia Lama sudah sangat tidak sehat hingga dapat julukan ‘kuburan orang Belanda’. Ketika memindahkan kota ke arah selatan ini, Daendels menghancurkan kastil dan hampir seluruh bangunan di Batavia Lama, hingga kanal-kanal menjadi rusak, berlumpur, dan air tergenang.
Pada 1920-an, Belanda ketika membangun kawasan Menteng mulai melakukan upaya-upaya untuk mengendalikan banjir –yang ada sejak zaman Tarumanegara (abad ke-6 M). Maka, mulailah dikerjakan saluran banjir yang kini lebih dikenal dengan istilah banjir kanal. Dengan demikian, Ciliwung dan Sungai Krukut dapat dikendalikan. Pengendalian banjir itu direncanakan Prof Ir van Breen.
Tinggalkan Balasan