Bulan Juni mendatang, warga Jakarta akan memilih gubernur baru menggantikan Sutiyoso. Untuk itu, tiap Sabtu kami secara berturut-turut akan menurunkan artikel para wali kota dan gubernur yang pernah memerintah Ibu Kota. Kita mulai dengan Wali Kota, Suwiryo (1945-1947) dan (1950-1951). Dalam foto tampak Suwiryo (berkacamata), berdiri di sebelah kiri Ibu Fatmawati. Mereka hadir di kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta, saat proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Proses Suwiryo, yang lahir 1903 menjabat sebagai wali kota dimulai pada Juli 1945 di masa pendudukan Jepang. Kala itu dia menjabat sebagai wakil wali kota Jakarta, sedangkan yang menjadi wali kota seorang pembesar Jepang. Pada 10 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu setelah bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki. Berita takluknya Jepang ini sengaja ditutup-tutupi. Tapi Suwiryo, dengan berani menanggung segala akibat menyampaikan kekalahan Jepang ini pada masyarakat Jakarta dalam suatu pertemuan. Hingga deman kemerdekaan melanda Ibu Kota, termasuk meminta Bung Karno dan Bung Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan.
Ketika kedua pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan, Suwiryo-lah salah seorang yanbg bertanggungjawab atas terselenggaranya proklamasi di kediaman Bung Karno. Semula akan diselenggarakan di Lapangan Ikada (kini Monas) tapi karena balatentara Jepang masih gentayangan dengan senjata lengkap, dipilih di kediaman Bung Karno.
Suwiryo dari PNI pada 17 September 1945 bersama para pemuda ikut menggerakkan massa rakyat menghadiri rapat raksasa di lapangan Ikada (Monas) untuk mewujudkan tekad bangsa Indonesia siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan. Rapat raksasa di Ikada ini dihadiri bukan saja oleh warga Jakarta tapi juga Bogor, Bekasi, dan Karawang.
Ketika pasukan Sekutu mendarat yang didomplengi oleh pasukan NICA (Nederlands Indies Civil Administration), pada awal 1946, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta hijrah ke Yogyakarta. Suwiryo yang tetap berada di Jakarta menginstruksikan kepada semua pegawai pamongpraja agar tetap tinggal di tempat menyelesaikan tugas seperti biasa. Pada 21 Juli 1947 saat Belanda melancarkan aksi militernya, Suwiryo diculik oleh pasukan NICA di kediamannya di kawasan Menteng pada pukul 24.00 WIB. Selama lima bulan dia disekap di daerah Jl Gajah Mada, dan kemudian (Nopember 1947) diterbangkan ke Semarang untuk kemudian ke Yogyakarta. Di kota perjuangan, wali kota pertama Jakarta ini disambut besar-besaran oleh Panglima Besar Sudirman yang datang ke stasion Tugu.
Pada 21 Maret 1950 Presiden Sukarno mengangkatnya kembali sebagai wali kota. Pada 2 Mei 1951, Suwiryo diangkat jadi Wakil PM dalam kabinet Sukiman (Masyumi) dan Suwiryo (PNI). Dikenal dengan istilah kabinet SuSu. Jabatan wali kota diganti oleh Syamsuridjal (Masyumi).
Kebetulan sekali, pak Wir (begitu saya memanggilnya) adalah pamanku yang menikah dengan adik dari Ayahanda Dyar, ibu Purnami Indijah, yang kini masih hidup, berumur hampir 89 tahun. Saya mengikuti keluarga ini sejak masih sekolah pada SekolahTinggi Kewartawanan, mulai dari tempat tinggal di Pengangsaan Barat, pindah ke Taman Surapati, rumah dinas Walikota Jakarta saat itu, lalu pindah lagi ke kini Jalan Suwiryo, dulu Jalan Palm, waktu beliau menjadi Wakil Perdana Menteri dalam kabinetnya Bapak Burhanudin. Sejak mengikuti pak Wir, saya sekali waktu ketemu dengan Bapak Ir.DR.Soekarno, yang saya kagumi dan angkat topi dengan sepenuh hati, karena saya pun juga ikut mempertaruhkan jiwa dan raga memenuhi cita-cita bangsa kita, bebas dari penjajahan yang terlalu lama, yaitu 350 tahun.
Saya sendiri telah berumur 81 tahun kini. dan dapat banyak pendukungan dari pak Wir, baik lahiriah maupun mental. Beliau merupakan seorang yang bersahaja, tidak pernah punya mobil sendiri, semua adalah mobil dinas dan jauh dari tindakan KKN yang kini sedang merajalela.
Waktu beliau terkena serangan sakit Otak, sehingga sempat dirawat di Jepang, sayapun melangkah ke luar negeri, Eropa, dan Amerika, menuntut ilmu pengetahuan komputer. Parapsikhologi dan Psikhorientologi selama 24 tahun lebih dan kembali ketanah air pada tahun 1983 membawa konsep pendidikan ‘subyektif’ yang belum dikenal ditanah air. Saya banyak mendapatkan pertentangan, tapi tetap mencoba mendidik mereka yang bersedia untuk mengikuti pelatihanya. Hingga kini telah terdapat hampir tujuh ribu alumni dari berbagai kalangan, seperti kedokteran, psikhologi, pebisnis, remaja mulai sekolah dasar hingga universitas, dosen, notaris, pengacara, para iburumah tangga dan lain sebagainya.
Tujuan tidak lain untuk mengintegrasikan kemampuan sadar dan sub-sadar, dalam meningkatkan kemampuan mental manusia untuk merubah serta mengendalikan diri pada jalur kejujuran serta kepositifan.
Bila pak Wir masih hidup kini, beliau akan pasti bangga dengan kemajuan keponakanya yang telah mengikuti arahannya untuk tetap menjaga kejujuran serta mawas diri didalam kondisi dunia pada saat terkini.
Bila sempat mendapatkan Buku Mahakarya Indonesia Emas 2007 diterbitkan oleh Lembaga Pusat Biografi dan Profil tokoh berprestasi, silahkan mencari Profilku.
Demikian Kenyataanya.
Apakah saya dapat berhubungan dengan pak Lasmono Abdulrify Dyar.
Bapak saya dengan pak Diar ada hubungan famili.
R. Darmanto Djojodibroto