Dihadang Demo Turunkan Harga
Kalau tiga walikota sebelumnya, Suwiryo (PNI), Syamsuridjal (Masyumi) dan Sudiro (PNI), Henk Ngantung, putra Kawanua kelahiran Bogor (1 Maret 19270), didukung PKI. Dia memulai jabatan sebagai wakil gubernur DKI pada 29 Januari 1960 sampai dengan 26 Agustus 1964. Kemudian Presiden Sukarno menunjuknya sebagai gubernur pada 27 Agustus 1964-16 Juli 1965. Sebagai seniman dan murid dari pelukis terkenal Afandi, dia berusaha untuk merapikan Jakarta. Di sepanjang Jalan Thamrin dan sebagian Jalan Sudirman yang kala itu baru saja dibangun, dia menyediakan ‘kuali-kuali’ berisi aneka tanaman hias yang terhampar di kedua jalan protokol tersebut. Kala itu, Presiden Sukarno ingin menjadikan Jakarta setaraf dengan kota-kota besar di dunia. Sayangnya keadaan ekonomi kala itu sangat memprihatinkan. Tak lama setelah dilantik sebagai gubernur, menjelang Natal, Tahun Baru, disusul Idul Fitri dan Imlek (1964-1965), harga barang sehari-hari melonjak gila-gilaan. Seperti dituturkan dalam kesan-kesannya memimpin Ibu Kota, Henk Ngantung menuturkan, demo-demo dan delegasi-delegasi berdatangan ke Balai Kota menuntut penurunan harga-harga barang pokok. Ditambah lagi dengan delegasi-delegasi yang menuntut gubernur membubarkan ormas-ormas yang jadi lawan politiknya.
”Maka secara ambeg parama arta saya kesampingkan dulu semua persoalan lain, dan memusatkan soal beras, dengan pengertian: ‘beras adalah soal perut yang lapar tak bisa ditunggu. Dan perut yang lapar adalah bahaya, mengganggu keamanan dan ketertiban ibukota.” Tetapi apa yang terjadi?
Sementara Pemda DKI sedang tangani persoalan beras, maka tanpa sepengetahuan gubernur DKI oleh alat-alat negara telah diadakan penertiban-penertiban dan penangkapan-penangkapan di pasar-pasar, berdasarkan perintah suatu instansi pusat. Akibatnya beras menghilang dari seluruh Jakarta. ”Tak perlu saya lukiskan bagaimana suasana kota Jakarta ketika itu. Jangankan rakyat yang tidak mampu, yang mampu belipun sama nasibnya karena beras menghilang,” tutur Henk Ngantung. Waktu itu, bukan hanya beras, besi beton dan semen juga menghilang dari pasaran.
Gubernur Henk Ngantung juga merencanakan pembangunan kompleks rekreasi dan budaya yang ia namakan ‘Taman Bhineka Tunggal Ika’ di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang kini menjadi Taman Margasatwa (Kebun Binatang Ragunan). Pada prinsipnya, ide Taman Bhineka Tunggal Ika tidak berbeda dengan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII). Untuk itu telah dilakukan survei tanah seluas 100 ha. Ide ini gagal karena tidak mendapat ‘lampu hijau’ dari Bung Karno.
Seperti juga Sudiro, Henk Ngantung tidak setuju Gedung Proklamasi di Jl Proklamasi 56, Jakarta Pusat dibongkar dan dijadikan Gedung Pola. Ketika ia mengusulkan agar gedung ini dijadikan ‘Museum Bung Karno’, Presiden Sukarno menyatakan: ”Apakah kamu juga termasuk yang ingin memamerkan celana kolorku.”
Tinggalkan Balasan