UUD 45 di Pabrik Tebu
Awal pekan ini MPR menggelar rapat pimpinan membahas rencana konsultasi dengan lembaga-lembaga negara terkait dengan perubahan UUD 45 dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara, sejak pekan lalu partai-partai politik saling silang pendapat antara pro dan kontra mengenai amandemen kelima UUD 45, yang menjadi usulan DPD.
Untuk itu, sebaiknya kita mendatangi sebuah gedung di kawasan Pejambon, Jakarta Pusat, jalan raya di hadapan stasion Gambir dan di sudut kanan Gereja Imanuel. Gereja tua yang dibangun pada abad ke-19 itu pada masa kolonial dinamakan Willem Kerk (Gereja Willem) untuk menghormati raja Belanda kala itu.
Gedung dalam gaya ‘klasisme’ itu dinamakan gedung Pancasila. Karena, di gedung yang kini merupakan bagian dari Departemen Luar Negeri itu, pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengucapkan pidato yang amat masyhur, Pancasila, yang kemudian mnenjadi dasar negara kesatuan RI. Pada masa Orde Baru pernah terjadi polemik bahwa bukan Bung Karno yang menggali Pancasila. Tapi, sebelum wafat, Bung Hatta mengeluarkan surat wasiat kepada Guntur Sukarnoputra, bahwa Bung Karnolah penggali Pancasila.
Gedung, yang pada masa Orde Baru pernah digunakan oleh Departemen Kehakiman, kemudian dijadikan Gedung BP7 untuk mem-Pancasila-kan masyarakat itu dulu disebut Hertog Park (Taman Adipati) dan merupakan kawasan elite di Weltevreden. Sebab, gedung yang dibangun pada 1830 itu pernah menjadi kediaman Panglima Angkatan Bersenjata di Hindia Belanda.
Ia adalah seorang keturunan Jerman bernama Herzog Bernhard van Sachen Eisenach (1792-1862) — seorang ningrat terkemuka di Jerman. Ia adalah tentara yang setia kepada Kaisar Napoleon sebelum masuk dinas militer Hindia Belanda dengan pangkat kolonel. Karirnya terus menanjak hingga menjabat Panglima Angkatan Bersenjata pada 1847-1851.
Gedung Pancasila yang punya riwayat panjang itu sekarang ini digunakan sebagai ruangan upacara Deplu. Gedung yang punya sejarah bangsa ini telah dilestarikan pemerintah. Goethe, filosof dan sastrawan Jerman terkemuka, menghadiahinya satu puisi pada tahun 1826, setelah ia kembali dari suatu perjalanan ke Amerika. Sampai Perang Dunia II jumlah orang Jerman di Hindia Belanda nomor dua terbesar setelah penjajah Belanda.
Di gedung Pancasila, yang telah berusia sekitar satu setengah abad itu, pada masa pendudukan Jepang pernah digunakan oleh Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai — Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sehari setelah proklamasi, 18 Agustrus 1945, badan yang beranggotakan 62 orang itu bersidang di gedung ini — dipimpin oleh Dr Radjiman. Melalui sidang-sidang BPUPKI dihasilkan UUD 45 sebagbai UU Negara Kesatuan RI. Pada waktu bersamaan dilantik Bung Karno dan Bung Hatta, masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakan, setelah dipilih memegang jabatan tertinggi negara, Bung Karno berjalan pulang. Di jalanan ia bertemu dengan tukang sate. Lalu Paduka Yang Mulia Presiden RI itu memanggil panjaja yang tidak berbaju itu dan mengeluarkan perintah pertama: ”Sate ayam 50 tusuk.” Ia pun jongkok dekat selokan dan kotoran.
Pada bulan Mei 1918, gedung Pancasila dijadikan sebagai tempat sidang-sidang Volksraad semacam Dewan Rakyat bentukan Belanda. Dari 38 anggotanya tidak termasuk ketuanya yang orang Eropa separoh bukan orang Eropa. Sebagian dipilih oleh pemilih setempat, sebagian lagi ditunjuk oleh gubernur jenderal. Badan ini merupakan tempat melakukan konsultasi anggaran belanja pemerintah, dapat memberikan saran tanpa memiliki kekuasaan prerogatif.
Pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, seorang pengusaha Cina membangun pabrik dan penggilingan gula di tempat tersebut, yang kemudian diganti oleh tangsi tentara. Kala itu, Jan Piedterzoon Coen banyak mendatangkan orang Cina ke Batavia, termasuk Souw Beng Kong (Bencon) dan wakilnya, Jan Con, seorang Cina Muslim. Dia membangun sebuah masjid di Kampung Bebek, Angke, Jakarta Barat, yang sampai 1956 masih berdiri.
Jan Con, demikian panggilan Kompeni untuk orang kedua Cina di Batavia itu, disamping ditunjuk sebagai pemungut pajak, ia juga beroperasi sebagai makelar tenaga kerja di Batavia. Penyewa kuli-kuli yang tiap tahun dikapalkan dari Fukiien (Cina Selatan) dengan jung-jung Cina.
Diikatnya orang-orang Cina itu sebagai tenaga trampil atau setengah trampil, untuk menambah kawanan budak. Dan, orang-orang perantau Cina dikerahkan oleh VOC untuk menggali saluran dan membangun kubu-kubu pertahanan. Ia juga mempekerjakan kuli-kuli Cina pada perusahaan penebangan kayu dan perkebunan gula yang banyak terdapat di Batavia.
Selain melalui makelar tenaga kerja, awalnya para kapten kapal-kapal Belanda menculik petani-petani Cina untuk dilelang sebagai kuli kontrak. Sementara saudagar-saudagar Cina sendiri memuat kapal mereka tidak hanya dengan barang-barang, tapi juga para petani dan kuli dari Cina. Karena godaan kehidupan yang lebih baik, akhirnya mereka sendiri berdatangan ke Batavia.
Sayangnya, pada 1740, harga gula jatuh, kalah bersaing dengan gula dari India. Akibatnya, beribu-ribu orang Cina menjadi penganggur, karena pabrik gula banyak yang tutup. Karena banyak diantara panganggur Cina yang dituduh berbuat kriminal, mereka pun dideportasi. Akibatnya, pada Oktober 1740 terjadi perlawanan Cina terhadap Belanda. Sekitar 5-10 ribu orang Tionghoa dibunuh secara mengenaskan.
Tinggalkan Balasan