Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, Jakarta Islamic Centre di Kramat Tunggak, Tanjung Priok, 27 Maret 2007, mengadakan Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Saya diminta menyampaikan materi tentang pemikiran dan karya ulama Betawi dari abad ke-19 sampai penjajahan Jepang.
Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.
”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.
Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan.
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, HAMKA yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ka dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka.
Pada tahun 1925, ketika Raja Ali takluk kepada dinasti Saudi, Raja Suud meminta supaya orang-orang besar, para tokoh ulama Betawi, dibebaskan. Pada tahun 1939 jamaah haji Indonesia tidak bisa kembali ke Tanah Air, karena zona laut pada awal perang dunia ke-II itu dinyatakan sebagai daerah peperangan. Raja Suud memberikan izin kepada para jamaah Indonesia untuk bermukim di negaranya.
Pekojan, di Jakarta Barat, tidak pelak lagi merupakan pusat intelektual Islam. Syaikh Junaid Al-Betawi, misalnya, dilahirkan di kampung Arab ini. Ridwan Saidi, yang ikut memberikan ceramah, menyatakan, Syekh Nawasi dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah murid Syaikh Junaid Al-Betawi.
Pekojan juga melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk guru Mansyur dari Kampung Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.”
Lahir di Pekojan pada tahun 1882, Habib Usman Bin Yahya merupakan penulis sangat produktif. Tidak kurang dari 47 kitab karangannya, sebagian besar disimpan di Arsip Nasional. Dia kemudian pindah ke Jatipetamburan, Tanah Abang. Sebelum memiliki percetakan, karangan-karangannya dengan tulisan tangan ditempelkan di Masjid Jatipetamburan. Jamaah harus mengantri untuk membacanya.
Ulama ini makin produktif menulis setelah memiliki percetakan. Tapi, karangannya harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah kolonial sebelum dicetak. Sebelum wafat, Habib Usman berpesan agar di makamnya tidak dibuat kubah. Dia juga menolak diadakan haul untuk memperingati kematiannya.
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Alhabsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, dan KH Syafei Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Alhamnidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
saya tidak ingin komentar berlebih karena saya juga hanya baru tahu sedikit tentang ulama Betawi setelah menulis skripsi tentang biografi Guru Manshur. saya hanya ingin bertanya, kenapa sedikit sekali pembahasan tentang Guru Mujtaba. saya membaca di sebuah buku bahwa beliau adalah Syaikh Masyayikh ulama-ulama Betawi, tetapi sedikit sekali pembahasan tentang beliau. kalau tidak ada sumbernya tidak apa-apa, kalau ada, bisakah sedikit dipublikasikan, karena saya agal kesusahan mencari data tentang beliau. sebelumnya terima kasih
Ass. Wr. Wb…
Apa ada yang bisa menceritakan kisah hidup Syeikh Ahmada Khatib bin AbdulLatief Al-Minangkabawi..Terutama silsilahnya secara lengkap..? Siapa Syaikh Junaid Betawi..?
kapan dibahas tentang datuk yang ada dijakarta
AssWrWb
Engkong Alwi, selain Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary dari Kp. Baru Cakung, ada ahli hisab lain yaitu KH Ahmad (KH Ahmad falak), beliau berasal dari Kp. Mangga (Tugu, Koja) beliau adalah murid kesayangan dari Alm Guru Mansyur, karena kecerdasan dalam perhitungan matematikanya, mohon bisa diekspos sejarah beliau. Terimakasih wassalam
Insyaalah ana akan muat biografi beliau, bila ada kesempatan untuk wawancara
AssWrWb
Sdr Raihana, bolehkah saya mendapatkan hasil penelitian tentang Guru Mansyur yang telah anda lakukan? karena saya ada sedikit ikatan emosi terhadap beliau, karena almarhum guru ilmu falak saya adalah murid langsung dari beliau.
Terimakasih sebelumnya. Wassalam
ass..wr.wb…!!! salam kenal ya….&maaf ya ,kalau boleh tau apakah HM.TOHA bin sarfin yang dari buncit masih ada hubungan keluarga dengan kh.Tohir Rohili..kalau memang benar tolong kasih tau darimana urutannya.sebab kata almarhum kakek saya masih ada hubungan.terima kasih…wass…….
Ass..wr.wb..!!! buat sdr.Raihana..dengan sangat memohon…kepada antum,tolong dong lampirkan sejarah Raden.Guru Syari’un bin Raden Laitani.& juga tolong lampirkan susunan silslih beliau.keturunannya beliau banyak didaerah buncit,tegal parang & cilebut…..akhirul kalam..wass….wr.wb….!!!!
tolong ya lampirkan silsilah Raden.Guru Syari’un bin Raden Laitani.yang makamnya di daerah cilebut BOGOR. terima kasih.
Ass. tulisan anda bagus, harap menambahkan silsilah guru-guru atau jaringan ulama betawi. Ada beberapa ulama yang belum tercover, misalnya Guru Madjid dan Guru Mansyur misalnya, memiliki murid Guru Abdul Ghani (ayahanda dari KH Syarifuddin Basmol) dan Guru Muhammad Nadjihun Duri Kosambi (ayahanda KH Moh. Zein/murid KH Muhajirin Bekasi).
afwu…
Kepada saudara mahmud, maaf sebelumnya karena baru dijawab. Boleh saja melihat saudara melihat skripsi saya, tetapi skripsi saya berbahasa Arab. Jika ada pertanyaan mengenai Guru Manshur tolong email ke quds_kudo@yahoo.co.id. jika saya mampu dan tahu, Insya Allah saya jawab. Tks