Pilkada DKI Jakarta masih sebulan lagi (8 Agusdtus 2007). Tapi, hampir di segenap penjuru Ibukota sekarang ini bermunculan spanduk, baliho, poster dan umbul-umbul dari kedua kubu yang saling bersaing untuk menduduki kursi gubernur DKI Jakarta periode 2007-2012. Tidak kalah ramai dibanding kampanye Pemilu, baik dilakukan oleh pasangan Fauzi Bowo-Priyanto yang didukung 19 parpol maupun pasangan Adang Dorojatun-Dani Anwar yang didukung PKS.
Pilkada DKI 2007 merupakan yang pertama kalinya diadakan di Jakarta, setelah sejak proklamasi kemerdekaan 1945 di Ibukota terdapat tiga walikota dan tujuh gubernur. Sejak JP Coen mendirikan Batavia (Maret 1619), terdapat 61 gubernur jenderal — selama 350 tahun masa penjajahan Belanda — yang memerintah Jakarta (Batavia).
Sebagai penguasa tunggal di wailayan jajahan, sudah pasti orang tidak berani sembarangan berhadapan dengan gubernur jenderal. Begitu beragamnnya kehidupan mereka, ada yang begitu keras berdisiplin, bahkan cenderung kejam tanpa ragu menghukum anggota keluarganya sendiri. Ada yang menjadi korban balas dendam politik, ada pula yang tidak mau kembali lagi ke kampung halamannya di negeri Belanda.
Ada juga gubernur jenderal yang suka mengeluarkan peraturan yang aneh-aneh, yang main kolosi dan nepotisme. Tidak perlu dibilang lagi kalau soal korupsi sudah merajalela di kalangan pegawai VOC pada abad ke-18. Tapi, yang jelas, untuk menjabat sebagai gubernur jenderal, seorang pegawai VOC harus merangkak dari bawah. Tidak heran kalau para gubernur jenderal itu, saat menduduki jabatannya, sudah berusia lanjut.
Pada masa VOC sampai akhir abad ke-18, Batavia merupakan kota berbenteng. Karena itu, dikenal istilah Jalan Pintu Besar dan Pintu Kecil di Kota. Warga pribumi oleh VOC ditempatkan di kampung tua di luar benteng.
Karena itu, sampai kini masih dikenal beberapa kampung yang punya nama berkaitan dengan keberadaan etnis di sana, seperti Kampung Jawa, Kampung Banda(n), Kampung Bali, Kampung Melayu, Kampung Manggarai, Kampung Ambon, dan Kampung Makassar.
Menurut sejarawan dan budayawan Mona Lohanda, nama-nama etnis itu juga terlihat pada nama beberapa jenis penganan, seperti kue bugis, pacar cina, bika ambon, dan nama gula jawa yang membedakannya dengan gula tebu.
Kampung-kampung yang dulunya merupakan tempat pemukiman warga, yang merupakan generasi pertama penduduk Batavia, diatur di bawah seorang kepala yang mempunyai wewenang dalam berbagai hal: mulai soal administrasi, mengatur pemukiman kampung, sampai masalah pembagian warisan. Kepala pemukiman oleh VOC diberi pangkat kapitan atau letnan.
Menurut Mona Lohanda, gelar dan jabatan tersebut diberikan atas dasar bahwa para pemukim itu pada awalnya adalah serdadu yang ikut serta dalam pasukan VOC. Jabatan mereka disebut Inlandsche Komandant yang diartikan komandan pribumi.
Dalam buku Sejarah para Pembesar Mengatur Batavia, menurut Mona, ada dua keuntungan yang diperoleh VOC dengan pengaturan warga pribumi yang ditempatkan di luar kastil dan tembok kota Batavia. Pertama, sebagai pertahanan kota terhadap serangan dari luar, terutama dari Banten dan Mataram. Dan, kedua, mengembangkan kota dan pengelolaan pertanian serta perkebunan. Ini sekaligus memberikan keuntungan ekonomi.
Mona mengungkapkan kisah para gubernur jenderal yang berjumlah 61 orang pejabat tinggi itu. Yang menonjol adalah JP Coen, pendiri kota Batavia. Sebagai seorang penganut Calvinis yang ketat bahkan cenderung fanatik, Coen merasa perlu untuk menciptakan kehidupan ‘yang beradab’.
Begitu diangkat menjadi gubernur jenderal, pada 11 Desember 1620, Coen langsung melarang siapa saja yang tinggal di lingkungan jurisdiksi Batavia untuk memelihara budak perempuan atau gundik di rumah yang bersangkutan maupun di tempat lain tanpa alasan apapun. Karena, menurut Coen, terlalu banyak kasus aborsi dan kasus percobaan pembunuhan sang majikan oleh gundiknya dengan menggunakan racun.”
Tetapi, peraturan itu disepelekan oleh penghuni kastil, hingga beberapa kali di antara mereka dikeluarkan. Rupanya Coen konsekuen dengan keputusannya. Sehingga, dia menjatuhi hukuman terhadap Sara Specx yang masih berusia 13 tahun karena kepergok tengah ‘bercinta’ di kediaman Coen dengan seorang calon perwira VOC.
Ketika Jacques Specx menggantikan Coen, yang meninggal dunia (1629), dia membalas dendam kepada tiga anggota pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada puterinya dan memancung kekasihnya. Pendeta yang ingin membela ketiga anggota pengadilan itu malah diasingkan dengan sebuah kapal. Specx memperlihatkan bahwa kekuasaan gubernur jenderal tidak tertandingi.
Sedangkan Gubernur Jenderal Petrus van der Parra dikenal sebagai orang yang senang berfoya-foya. Ia punya kebiasaan tiap sore mengadakan upacara toast untuk kesehatan sang gubernur jenderal. Ini rutin tiap hari diadakan mulai pukul 16.00 (sore) sampai 21.00 (malam). Van der Parra membangunm Istana Weltevreden (kini Rumah Sakit AD Gatot Subroto) di Senen. Selama 14 tahun menjadi gubernur jenderal, dia dikabarkan tiap tahun mengimpor 1000 budak.
Tinggalkan Balasan