Beberapa hari menjelang lebaran, sebagian besar warga Ibukota mulai menyiapkan diri untuk mudik. Baik dengan kendaraan pribadi, umum, kereta api, kapal laut, maupun udara. Bagi mereka, lebaran tidak pulang kampung kurang afdol. Tidak jarang orang berani memboncengkan istri dan anak naik motor untuk jarak ratusan kilometer. Jumlah pemudik dengan motor tahun ini dikabarkan meningkat 30 persen atau sekitar 2,4 juta orang.
Bagi orang Minang — yang sejak kecil dididik untuk merantau dan diperkirakan lebih dua juta orang di Jakarta — saat mudik dikenal dengan istilah ‘pulang besamo’. Mudik berkonvoi, dengan berbagai stiker di tempel di mobil, lalu disambut dan dielu-elukan voorijder di perbatasan provinsi.
Ketika itulah sebuah pemandangan kebudayaan dipertontonkan. ”Ayo ke rantau mengubah nasib,” kira-kira begitulah pesan yang mereka sampaikan sepanjang perjalanan.
Kondisi saat sebagian masyarakat berebut mudik, sampai akhir 1950-an, jauh berbeda. Ketika itu tidak terlalu disibukkan arus mudik. Tidak ada posko-posko khusus. Apalagi pengerahan aparat keamanan untuk mengamankan lebaran.
Pada 1950-an penduduk Jakarta tidak sampai dua juta jiwa. Tapi, tidak mengurangi gairah mereka menyambut Idul Fitri. Bahkan, suasana syiar agama lebih syahdu. Kalau sekarang sudah hampir tidak dikenal malam likuran — yaitu malam-malam ganjil saat Ramadhan, terutama mulai malam 21 sampai 29.
Dulu, malam likuran sangat ditunggu-tunggu. Suasana di kampung di malam hari seperti siang. Rumah mereka dikapur atau dicat menyambut lebaran. Halamannya diterangi lampu minyak atau lilin. Orang-orang tua banyak begadang sambil mengaji, tadarus dan berzikir.
Begitu gigihnya ketika itu mereka beribadat sampai ada yang khatam Alquran tiga kali selama Ramadhan. ”Insya Allah kite akan dapetin Lailatul Qadar,” kata mereka dengan yakin.
Bukan hanya orang tua, anak-anak muda Betawi pada malam ganjil berada di masjid atau mushala. Mereka juga begadang semalam suntuk mengaji dan tadarus dibimbing seorang ustadz.
Sementara ibu-ibu dan para anak gadisnya tidak kalah sibuk. Mereka membuat kue lebaran seperti kue nastar, lapis, wajik, dan tidak ketinggalan dodol serta tape uli.
***
Bagi masyarakat Betawi persiapan menyambut Idul Fitri boleh dibilang telah dilakukan sejak tibanya Ramadhan. Sehari sebelum puasa orang telah mulai bergembira menyambut kedatangan bulan suci dengan memukul bedug sepanjang hari. Hanya berhenti sebentar dekat waktu Dzuhur dan Asyar.
Menjelang Ramadhan, para ibu dan gadis Betawi mandi di getek tepi kali sambil keramas (mencuci kepala) dengan air merang. Maklum kala itu shampoo belum nongol. Rakyat masak lebih enak dari hari-hari biasa.
Menyambut lebaran, bagi orang Betawi, hidangan daging kambing adalah suatu kemustian. Karena itu, mereka mengadakan andilan. Seekor kerbau atau sapi diperuntukkan 20-30 keluarga.
Daging umumnya digunakan untuk semur. Selain untuk makan sendiri juga untuk kenduri. Tidak heran, pada malam takbiran seseorang bisa mendapat undangan makan di empat atau lima tempat. Seperti juga sekarang, kala itu pada malam takbiran orang sudah berbuka puasa dengan ketupat. Hidangan semur, sambal godok dan opor ayam.
Pada malam takbiran kaum pria bertakbir, mengagungkan nama Allah sepanjang malam hingga Subuh. Sementara, di luar anak-anak memasang petasan dan kembang api. Tetapi, keramaian itu masih kurang jikalau belum diadakan pukul bedug, adu bedug atau ngarak bedug. Jamaah tiap masjid atau mushala berganti-ganti memukul bedug dengan riangnya. Bahkan anak-anak saling rebutan. Bukan hanya dipukuli, tapi juga diarak berkeliling.
Malam takbiran juga merupakan saat paling membahagiakan bagi para gadis. Sejak sore hari mereka sudah berdandan, berhias diri seelok mungkin. Karena, mereka yang kala itu masih banyak yang dipingit, diberikan kebebasan keluar rumah. Tentu saja tetap dengan pengawalan orang tua, saudara atau pembantunya. Umumnya mereka keluar di malam takbiran untuk membeli kembang yang banyak dijual di pasar-pasar. Tradisi pingitan yang telah dikritik oleh RA Kartini seratus tahun lalu baru benar-benar hilang menjelang 1950-an.
***
Main petasan pada malam takbiran baru dilarang beberapa tahun lalu. Bang Ali pernah menjadikan Jalan Thamrin sebagai arena ‘perang petasan’. Para muda-mudi — diantaranya yang tengah kasmaran — saling melempar petasan sampai subuh. Hingga sampai awal tahun 1990-an banyak orang yang luka parah menjadi korban petasan. Karena membahayakan jiwa dan banyak korban, akhirnya petasan dilarang.
Bermain bumbung juga banyak digemari. Bumbung terbuat dari bambu yang diberi lubang dan diisi karbit. Bagian depannya disumpel pakaian bekas (lap). Setelah lubang itu disundut api, bumbungpun berbunyi seperti meriam, ”jlegur”, dan anak-anak pun saling bersorak.
Setelah bersilaturahmi pada hari lebaran, mereka pergi pesiar ke tempat-tempat rekreasi. Ketika itu Kebun Binatang terletak di Taman Ismail Marezuki (TIM) yang merupakan bekas kediaman pelukis Raden Saleh. Baru pada 1960-an dipindahkan ke Ragunan. Ke Pasar Ikan sambil naik trem juga banyak digemari, termasuk orang-orang tua yang berziarah ke Luar Batang. Zanvood –tempat pemandian di Priok — juga banyak didatangi, tanpa membayar sepeserpun.
salam kenal bang alwi,
saya bukan orang betawi. asal orang tua saya jawa tengah, namun saya merasa sebagai orang betawi karena lahir dan besar di kawasan tebet 34 tahun lalu. kala itu – sampai saya sd – tebet belum seramai sekarang. saya masih sempat mengalami sebagian yang sebagian bang alwi sebutkan di sini. saya merasakan bagaimana nikmatnya bermain petasan janwe atau cabe rawit. saya juga main lodong (meriam bambu). bapak saya punya saudara di daerah tanjung priok, saat lebaran main ke sana pasti di ajak ke zandvoor (kami menyebutnya sampur). kala itu di kala lebaran, juga ibu juga meminta saya mengantar makanan yang beliau masak seperti ketupat dan sambel godog. sebagai balasannya kami mendapatkan kue dan makanan betawi lainnya (sayang saya sudah lupa namanya). pokoknya saya benar2 merasa sebagai orang betawi, bahkan aksen bicara saya masih aksen betawi (betawi tebet kata teman2 saya). sekarang saya tinggal di cipayung, masyarakatnya juga betawi (betawi pinggir?) yang secara budaya tidak jauh beda.
Salam kenal juga bung Anto, wah udah mendarah daging ya betawinya …
Salam,
saya sedang berburu betawi.
thx untuk infonya.
Salam,
_dee_
Wah jadi inget masa dulu nih ..
bwt orang” betawi jangan di lupain yee adat dan budaya kite biar ga di aku”in same tetangga kite..
yehhhhh…….
Iye bang aye ingetin nasehat abang