Foto dari buku ‘Oud Batavia’ (Kota Tua Batavia), memperlihatkan kawasan Pintu Kecil di China Town, Glodok,yang terletak di luar Kota Batavia, yang sampai 1809 dikelilingi tembok (benteng).
Dalam foto sekitar satu abad lalu, benteng berupa pintu kecil untuk masuk kota Batavia sudah tidak tampak lagi. Di samping pintu kecil, VOC juga dibangun Pintu Besar, yang sampai kini keduanya baik Pintu Kecil dan Pintu Besar menjadi nama jalan raya di Jakarta Kota. Seperti
Pintu Besar Utara (zaman Belanda disebut Binen Nieuwpoort Straat) dan Pintu Besar Selatan (Buiten Nieuwpoort Straat) adalah pintu keluar masuk ke benteng Batavia dari arah selatan lebih besar dari pintu kecil. Belanda membangun pintu kecil pada 1638 dan pintu besar tujuh tahun
sebelumnya (1631). Kedua pintu pertahanan ini ditutup menjelang malam hari untuk mencegah kemungkinan serangan dari balatentara Banten dan Mataram.
Dalam foto terlihat jembatan yang menghubungkan Jl Pintu Kecil-Jl Toko Tiga-Pintu Besar yang sudah diberi beton.Sedang jalannya sudah beraspal. Di atas jembatan terlihat sebuah sado atau delman tengah melintas. Di Kali Krukut yang kala itu masih lebar tampak sebuah perahu membawa barang dagangan. Kala itu angkutan di Jakarta di dominasi oleh perahu dan kendaraan berkuda. Rumahrumah yang terletak di tepi sungai Krukut, tampak seperti layaknya rumah-rumah di negeri leluhur mereka. Rumah tradisional dengan atap gentengnya yang di bagian atas agak runcing, kini sudah hampir hilang di kawasan Pecinan alias Glodok.
Jl Pintu Kecil, Jl Pintu Besar dan Jl Toko Tiga hingga kini tetap merupakan kawasan komersial yang penting di Glodok. Daerah ini sejak abad ke-18 oleh Belanda dijadikan daerah hunian untuk para pedagang Tionghoa dan sekaligus sebagai rumah tinggal. Dahulu Jl Toko Tiga, orang Tionghoa menyebutnya Sha Keng Tho Kho.
Pada pertengahan abad ke-19 di kawasan ini hidup Oey Tambahsia, seorang playboy Betawi. Dia mendapatkan warisan yang konon tidak habis sampai tujuh turunan. Dengan wajahnya yang tampan dan masih muda belia dia menghambur-hamburkan uangnya di meja judi. Untuk memuaskan nafsunya, play boy ini menggunakan uangnya untuk menggaet wanita, tidak peduli istri orang. Terhadap
pesaing-pesaingnya ia menjadi pembunuh berdarah dingin. Memelihara sejumlah selir yang ditempatkan di tempat pelesiran Ancol, Jakarta seperti cerita 1001 malam.
Dia dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan di alun-alun Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI Jakarta Jl Fatahillah). Dia mati dalam usia 31 tahun meninggalkan seorang balita. ..
Tinggalkan Balasan