Ketika saya menulis artikel ini tim dokter RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) baru saja mengumumkan bahwa kesehatan mantan Presiden Soeharto kembali memburuk. Padahal, sehari sebelumnya, keadaannya mulai membaik.
Ketika pekan lalu kesehatan Pak Harto dikabarkan krisis — yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono — saya melihat bagaimana tidak berdayanya beliau dalam usianya 87 tahun saat terbaring di RSPP. Rumah sakit modern di Kebayoran Baru ini dibangun Pak Harto ketika para
pengusaha asing dan orang berduit kala itu lebih memilih berobat di RS Singapura.
Saya yang menjadi wartawan Istana — teman-teman sering menyebut wartawan kerajaan — ditugaskan meliput kegiatan Presiden Soeharto oleh KB Antara pada tahun 1969. Pak Harto kala itu memiliki senyum yang khas hingga ia mendapat julukan The Smiling Generale. Terbayang begitu gagah dan berwibawanya Pak Harto seperti saat keluar dari Istana atau Bina Graha — yang paling sering menjadi tempat kegiatannya — diiringi staf tidak lupa melemparkan senyum pada para wartawan.
Saya yang sebelumnya ditugaskan meliput kegiatan di Hankam, mulai mengenalnya ketika ia menjabat sebagai Panglima Kostrad. Pak Harto ternyata salah seorang kepercayaan almarhum Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani yang menjadi korban pembantian G30S.
Pada acara kegiatan organisasi nonkomunis, apabila Pak Yani berhalangan, sering diwakili Pak Harto. Selama delapan tahun meliput kegiatan kepresidenan,hubungan Pak Harto dengan wartawan cukup akrab. Seperti kebiasaannya menyalami para wartawan yang ikut rombongannya berkunjung ke luar negeri di pesawat dan saat turun dari pesawat. ‘’Terima kasih,’’ ucapnya.
Konperensi pers hampir tidak pernah luput dilakukan Pak Harto ketika kembali dari kunjungannya ke luar negeri untuk menjelaskan hasil-hasil pembicaraannya dengan para pemimpin negara lain.
Meskipun ada jarak, tapi hubungan Pak Harto dengan wartawan Istana cukup akrab. Suka ngobrol secara santai. Para wartawan sering diajak ke peternakannya di Tapos, Bogor. Dalam suasana sangat santai dia memperlihatkan dan dengan antusias menerangkan tentang sapi dari Australia
yang banyak terdapat di peternakannya itu. Para wartawan makan dengan ikan yang banyak dipelihara di Tapos.
.. .. ..
Keakraban Pak Harto dengan wartawan yang pernah terjalin,sayangnya tidak berlangsung lama. Hal itu terjadi semenjak insiden Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang membuat seakan-akan Pak Harto kapok berbincang-bincang dengan wartawan. Insiden itu terjadi saat Pak Harto meninjau perumahan
yang dibangun dengan bahan bangunan bermis (batu apung) yang dikembangkan oleh salah satu yayasan yang dipimpinnya. Dengan bangga dan bergairah Pak Harto menceritakan proyek rumah percontohan gagasannya itu, yang rencananya akan dikembangkan secara massal untuk perumahan
rakyat kecil.
Sedang asyik-asyiknya memberikan penjelasan langsung berhadap-hadapan dengan wartawan sambil membawa mereka keliling ruangan, tiba-tiba ada seorang wartawan bertanya ingin tahu, ‘’Ini semua biayanya dari mana, Pak?.’’ Rupanya pertanyaan itu kurang berkenan di hati Pak Harto,
sebab jawaban yang diberikan di luar dugaan. ‘’Duitnya dari Mbahmu,’’ kata Presiden dengan nada setengah keras. Saya melihat muka Pak Harto agak merah menunjukkan ketidaksenangannya.
Ibu Tien Soeharto, yang sering mendampinginya baik dalam kunjungan di dalam negeri maupun luar negeri, sangat akrab dengan para wartawan. Suatu ketika kami diminta datang ke kediamannya di Cendana. Masing-masing diberikan sebuah tape recorder. ‘’Jangan sampai salah ya dalam meliput acara Pak Harto,’’ pesannya. Maklum ketika itu tape recorder belum menjadi andalan seperti sekarang. Liputan lebih banyak dengan mencatat langsung. Dalam kunjungan ke daerah-daerah kami merasakan bagaimana mesranya hubungan suami istri yang dikaruniai enam putra-putri itu. Dalam pidatonya Pak Harto sering kali memuji kesetiaan istrinya, yang dibalas oleh Ibu Tien dengan
pujian yang sama di hadapan ribuan massa.
.. .. ..
Ketika berkunjung ke Jerman tahun 1980-an, saat meninjau Museum Nasional Dresden di bekas kawasan Jerman Timur, Pak Harto disambut puluhan orang yang berdemo. Dalam spanduk bertuliskan kapanjangan SDSB yang dipelesetkan menjadi ‘’Soeharto Datang Semua Bencana’’. Pak Harto tampak tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa,sementara anggota rombongannya panik.Ibu Tien Soeharto, menurut Casmo Tatilitofa dalam Catatan Ringan Wartawan Istana, kelihatan nelangsa (bersedih hati) menerima kenyataan yang tidak terbayangkan sebelumnya itu. Mungkin juga shock. Ia berjalan berpegangan erat pada Menristek BJ Habibie. ‘’Tenang, Bu, para pendemo itu orang bayaran,’’ kata Habibie menghibur, seperti dituturkan seorang pengawal di kemudian hari.
Ibu Tien menanggapi ucapan Habibie dengan bertanya,‘’Berapa sih bayarannya? Kita bayar saja biar mereka tidak berdemonstrasi.’’
Saya juga terkesan waktu keluarga Pak Harto mengawinkan dua anaknya, Siti Hadiyanti dengan Rukmana dan Sigit dengan Elsye. Resepsi berlangsung di Istana Bogor.Mungkin untuk menjaga kesakralan, wartawan tidak diundang. Mungkin sayalah satu-satunya wartawan yang menghadiri
acara pernikahan itu. Dengan mengenakan jas saya masuk tanpa rintangan. Mungkin dikira tamu asing. Apalagi saat itu badan saya agak gemuk.
Wah sangat beruntung ya Pak mendapat kehormatan untuk menghadiri acara-acara spesial tersebut.
Wuih….Smiling Generale kita emang anti thd kritikan dan pendapat yg bersebrangan.