Inilah kawasan Kali Besar yang dibelah oleh Sungai Ciliwung. Sebelah kiri tempat Hotel Omni Batavia berada Jalan Kali Besar Barat dan sebelah timur Kali Besar Timur. Di tengah-tengah muara sungai terletak Jembatan Gantung Kota Intan yang telah berusia ratusan tahun. Jembatan ini merupakan jembatan tarik/jungkat terakhir di Jakarta yang sebelumnya banyak terdapat pada masa VOC. Jembatan ini bisa diangkat saat kapal-kapal hendak memasuki Kali Besar yang pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah.
Di muara Ciliwung yang merupakan bandar Sunda Kalapa inilah pada 22 Juni 1572, Panglima Balatentara Muslim Falatehan dari Demak mengusir Portugis yang secara sepihak mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Hindu Pajajaran yang berpusat di Batutulis, Bogor.
Di kedua sisi jembatan Kota Intan kini berdiri terminal bus Jakarta Kota. Di sekitar tempat yang tampak dalam foto inilah Falatehan mendirikan Kraton Jayakarta. Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak sungai Ciliwung.
Di tempat yang banyak terdapat pohon kelapa inilah kira-kira berdiri kraton (dalem). Di sebelah selatan terdapat alun-alun dan di sebelah barat alun-alun terdapat sebuah masjid dan selatan alun-alun terdapat pasar. Tata kota dengan penempatan bangunan-bangunan seperti kota Jayakarta pada dasarnya tak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir utara Jawa pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam seperti Banten, Cirebon dan Demak. Bangunan-bangunan kraton, masjid, pasar,dan alun-alun mencerminkan pusat kekuasaan politik antara masyarakat dengan raja dan birokrat. Ketika itu Kraton Jayakarta –juga terdapat perumahan para abdi dalem — dikelilingi oleh pagar kota dari bambu yang kemudian menjadi pagar tembok.
Dari berita Belanda, penduduk kota utama Jayakarta sekitar tiga ribu kepala keluarga atau sekitar 15 ribu jiwa. Pada 30 Mei 1619 Belanda tanpa mengenal ampun telah menghancurkan dan membumihanguskan Kraton Jayakarta. Termasuk masjid tempat ibadah yang seharusnya dihormati.
Pihak penjajah bukan hanya menghancurkan Jayakarta tapi mengusir seluruh penduduk. Kita dapat membayangkan bagaimana 15 ribu jiwa termasuk anak-anak kecil harus menyingkir ke Jatinegara Kaum yang jaraknya sekitar 20 km dari Kota Intan.
Kala itu mereka harus melewati hutan belukar. Di Jatinegara Kaum mereka mendirikan Masjid Asy-Salafiah yang hingga kini masih berdiri tegak. Pangeran Jayakarta dan anak buahnya melalui masjid menggerakkan pasukan bergerilya melawan Belanda.
Salam abah,
Sebagaimana daerah tetangganya yaitu Jawa Barat, kita mengenal gelar kebangsawanan seperti Raden, Aom, dan Tohaan.
Di Betawipun kita mengenal istilah “Ateng”, yang merupakan gelar kebangsawanan keturunan Pangeran Jayakarta di Betawi. Menurut sumber keluarga, nama Ateng merupakan penyamaran dari kata Raden. Maklum pada masa Pangeran Jayakarta, keluarga dan keturunannya merupakan incaran nomor satu Belanda .
Hanya satu mungkin yang saya masih bertanya-tanya perihal Pangeran Jayakarta. Apakah Pangeran Jayakarta ini adalah gelar Fatahillah atau Falatehan sebagai bupati di Sunda Kelapa? atau memang lain orang.
Mohon pencerahannya Abah,…
Tabe’
Bismillahirrahman nirrahim,
Assalamu ‘alaikum wr wb.
Bah, Kalau cerita tentang semangat menegakkan kebenaran keadilan dan mengaggungkan kalimat laiilahaillallah yang dipegang teguh Jaya karta, malu rasanya melihat Masyarakat Jakarta yang munTuhankan materi yang kebanyakan masyarakat Jakarta saat ini memiliki ciri-ciri menjadi kaum musyrikin dan kafirin.
Menanggapi komentar Gusman, saya infokan bahwa Mulai sekitar tahun 1568 (Fatahilah) memimpin sunda kelapa tapi belum bergelar Pangeran Jayakarta 1 ,selanjutnya penerusnya diberi gelar P.Jayakarta 2 (Ki Gedeng Angke), P. Jayakarta 3 (Sungrasa Jiwakrama), P. Jayakarta 4 (Ahmad Jakerta), P.Jayakarta 5 (Padmanegara), P.Jayakarta 6 (Surya). Setelah itu karena kondisi politik banten, gelar pangeran di jayakarta diturunkan menjadi Tubagus pada sekitar tahun 1770 sebagai penerus Gelar Pangeran Jayakarta. Penerusnya adalah : Tb. Muhamad Abu, Tb. Abdurrahman, dam terkahir Tb Aria kosim, gelar Tb juga oleh Belanda diperlemah lagi Tahun 1853, penerusnya diberi Gelar Ateng, hanya sampai 2 keturunan yang bergelar Ateng, generasi 1, Ateng Kosim dan para saudaranya diteruskan Ateng Sehabudin dan para saudaranya , 2 generasi keturunan ini keluar jakarta hijrah ke jawa barat, ada yang masih di Jakarta. Gelar Ateng Berakhir pada sekitar tahun 1883, keturunannya selanjutnya bergelar Raden, gelar inipun sekarang oleh keturunannya sudah jarang dipakai.
Tetapi ini bukti, bahwa jihad islam jayakarta dikalahkan oleh semangat kapitalisme penjajahan pedagang VOC, penjajahan ini pun belum berakhir, hanya nama VOC saja yang hilang, prilaku politik devide et impera masih berlangsung dilakukan oleh kaum kapitalisme kafirin dan musrikin, Penjajah kapitalisme ini sekarang bangsa kita sendiri Bah, bukan si Bule!!
Mana Tunduk Patuh pengakuan Muslimnya?!!!!
Wassalam
Saya,
Semoga darah yang mengalir masih memiliki semangat Jihad Islam Jayakarta.