Dua terpidana mati, Sumiarsih (60) dan anaknya, Sugeng (44), Sabtu (19/7) malam lalu dieksekusi oleh regu tembak Brimob di lapangan tembak Polda Jawa Timur. Dua jam sebelumnya (pukul 22.30), Usep alias Tubagus Yusuf Maulana, dieksekusi di hutan di kawasan Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten.
Sumiarsih dan Sugeng adalah terpidana mati atas kasus pembunuhan Letkol (Mar) Purwanto, istri, dua anak mereka dan seorang keponakannya. Sedangkan dukun Usep dihukum mati karena melakukan pembunuhan berencana terhadap delapan orang warga Tangerang.
Sebelumnya, dua warga Nigeria telah tewas di depan regu tembak di Pulau Nusakambangan karena kasus narkoba. Sementara, tiga terpidana mati kasus bom Bali, yakni Amrozi, Imam Samudera dan Ali, akan dieksekusi sebelum Ramadhan nanti.
Pada masa Bung Karno, tahun 1964, tokoh DI/TII Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati, dan dialah satu-satunya terpidana mati pada masa itu.
Sebelum menandatangani surat keputusan (SK) pelaksanaan eksekusi, yang disodorkan oleh Asisten I Menpangad Mayjen S Parman, Bung Karno lebih dulu shalat magrib dan berdoa. Kartosuwiryo dieksekusi di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, 14 km dari Jakarta.
Di Jakarta, ketika masih bernama Batavia, hukum pancung alias tebas leher, pernah diakrabi penduduknya selama dua setengah abad. Sepertinya, pelaksanaan hukuman yang memisahkan leher dari badan ini menjadi hiburan dan ditonton banyak orang.
Sehari sebelum eksekusi, pejabat pengadilan mendatangi kampung-kampung di sekitar Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI Jakarta). Dengan pengeras suara yang terbuat dari kaleng mereka menyuruh warga berbondong-bondong datang ke lapangan Balai Kota yang dalam bahasa Belanda disebut stadhuis. Tempat tiang pemancungan di halaman Balai Kota hingga pada masa Belanda dinamakan golgenveld.
Di lantai dua Museum Sejarah Jakarta, di Jl Falatehan I, Jakarta Barat, hingga kini masih ada pedang keadilan setinggi sekitar satu setengah meter — semacam guillotine yang dipergunakan pada masa revolusi Prancis saat rekyat jelata memancung raja dan permaisurinya.
Kerapnya hukuman mati di tiang gantungan diuraikan oleh sejarawan dan dan arkeolog Belanda, Hans Bonke. Menurutnya, pada awal abad ke-18 di Amsterdam yang berpenduduk 210 ribu jiwa dilakukan lima kali hukuman mati per tahun. Di Batavia, yang berpenduduk 130 ribu jiwa, angka hukuman mati mencapai dua kali lipat.
Seorang Jerman yang bekerja dalam dinas VOC, dalam buku hariannya memaparkan bahwa pada 19 Juli 1676, empat orang dipancung di balai kota dengan dakwaan membunuh. Enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya.
Seorang Indo Belanda digantung karena mencuri. Beberapa orang Belanda dihabisi di tiang gantungan, karena meninggalkan tugas penjagaan. Seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena berzina.
Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh mencatat banyaknya kasus zina yang dilakukan perempuan ketika suaminya masih hidup dan ketika meninggal. Dia mencatat ada empat kasus dengan hukuman dibenamkan dalam tong berisi air, tiga kasus lainnya diikat pada tiang gantungan dan satu demi satu dicekik sampai mati. Kemudian, wajah mereka dicap serta disita semua harta miliknya.
Eksdekusi terhadap Pieter Erberveld, pria keturunan Belanda-Jerman, dilakukan dengan cara yang sangat biadab pada 22 April 1722. Tangan dan kakinya diikat tambang dengan masing-masing dihubungkan ke seekor kuda yang menghadap ke empat penjuru.
Dengan sekali hentak, keempat kuda itu berhamburan ke empat penjuru diikuti terbelahnya tubuh Pieter jadi empat bagian. Sejak itu lokasi eksekusi dinamakan Kampung Pecah Kulit.
Korban eksekusi lain adalah Oey Tambahsia, seorang pemuda playboy yang amat tampan. Berpenampilan rapi, dan kaya raya berkat warisan bejibun dari orang tuanya — seorang pedagang paling tajir di Betawi. Tiap pagi dan sore pemuda yang belum berusia 20 tahun ini jual tampang keliling kota Batavia naik kuda Australia.
Entah berapa gadis yang berhasil dijeratnya, tidak peduli lajang atau istri orang. Ketika kawin, selama sebulan dia menutup jalan dari Jembatan Tiga sampai Patekoan, Glodok, Jakarta Kota. Beberapa pesaingnya dalam mendapatkan harem dan bisnis dihabisi nyawanya.
Akibat perbuatannya itu dia pun dihukum mati. Oey Tambahsia dengan gagah berjalan sendiri naik tangga ke tiang gantungan, tanpa menunjukkan rasa takut. Semua penonton yang berdiri di sekitar tiang gantungan kagum melihat kebneraniannya.
Ketika algojo memasukkan tali gantungan ke lehernya, Oey dengan tenang berkata, “Di kantong bajuku ada selembar uang kertas 50 gulden untuk kau punya upah. Tetapi, aku minta kau jangan terlalu bengis jiret batang leherku.”
Sudah sejak lama ada tuntutan dari masyarakat agar koruptor kelas kakap juga dihukum mati seperti yang dilakukan di RR Cina. Kalau saja ini dilaksanakan, akan membuat orang tidak berani melakukan korupsi.
Masalahnya sekarang banyak orang yang tidak takut mati walau tanpa persiapan/bekal….mati adalah selesai sudah tugas didunia…akhirat tidak ada yang tahu…Jera adalah yang diharapkan dari hukum ini, tapi kesadaran lebih utama mungkin dari sekedar jera…bagaimana membuat sadar akan hal ini?…kita cari solusinya sama²
wah… ternyata budaya korupsi sudah mendarah daging di Indonesia sejak jaman penjajahan, pantas saja susah untuk diberantas. Sudah menjadi tradisi rupanya.
Kalau nggak salah Kartosuwiryo bukan satusatunya terpidana mati pada masa Bung Karno, presiden RMS Soumokil juga terpidana mati pada masa itu