Marsekal Herman Willem Daendels, seorang pengacara yang mendukung revolusi Prancis, sangat pandai berpidato. Karirnya menanjak pesat ketika ia terlibat dalam pemberontakan patriotik terhadap wangsa Oranye (House of Orange). Meskipun untuk itu dia harus melarikan diri dari negeri Belanda.
Sejak 1795 sampai 1813, nasib Belanda terkait erat dengan Prancis yang revolusioner dan imperial. Campur tangan Prancis dalam urusan perdagangan Belanda bertambah besar pada 1808 saat penggalangan negeri kincir angin itu ke dalam kekaisaran Prancis. Dan, Daendels, pengagum berat Kaisar Napoleon, ditunjuk sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda.
Anehnya, ia bukan mendarat di Batavia setibanya dari Eropa, tapi di Anyer, Banten — daerah yang kemudian menjadi awal dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) sepanjang 1000 km hingga Panarukan (Jawa Timur). Ia tiba di Batavia dengan membawa surat pengangkatan dari Napoleon. Ia mendapat julukan ‘Marsekal Besi’ yang juga menimbulkan permusuhan baik dari pihak Belanda sendiri maupun pribumi. Mereka menyebutnya penghianat yang kesetiannya amat diragukan dan telah dibeli oleh Napoleon.
Ketika itu, Daendels tengah bersiap untuk menghadapi Inggris yang bertekad untuk menguasai pulau Jawa. Sementara orang Belanda lebih suka diperintah oleh Inggris daripada Prancis. Menurut mereka, Daendels bersiap melawan pihak Inggris hanya untuk menyerahkan Hindia Belanda pada Napoleon.
Untuk keperluan pertahanan menghadapi Inggris itulah Daendels membangun Jalan Raya Pos, terentang antara titik paling barat dan paling timur (Anyer – Panarukan), yang kemudian juga dikenal sebagai Jalan Daendles. Dan, sebuah jalan dari utara ke selatan antara Semarang-Surakarta.
Setelah terlebih dulu memutuskan bahwa para pangeran di Jawa harus dipilih dan ditunjuk pemerintah, yang berarti menjadi pegawai negeri, Daendels tidak segan-segan bertindak dengan tangan besi mengharuskan mereka mengerahkan ribuan tenaga untuk kerja paksa. Biayanya sangat mahal, termnasuk korban jiwa lebih kurang seribu pekerja rodi.
Mungkin Daendels tidak berpikir, bahwa jalan raya yang mengorbankan ribuan jiwa itu, kini sudah seklitar 200 tahun telah dinikmati masyarakat. Jalan Daendels, yang kini menjadi jalur utama di Pulau Jawa, itulah yang akan kita lalui saat mudik lebaran jumlah pemudik tiap tahun mencapai jutaan.
Jalan panjang itu memiliki tempat penggantian kuda (seperti yang ada di Prancis), sehingga sebelum ada mobil dulu dari Batavia sampai Surabaya dapat ditempuh dalam waktu lima sampai enam hari. Dengan satu kereta kuda yang diganti di enam tempat tersebut. Hal ini merupakan kemajuan luar biasa dibandingkan periode sebelumnya.
Jalan berkelok-kelok menuju Puncak setinggi 1500 meter dari permukaan laut yang menghubungkan Buitenzorg (Bogor) – Bandung juga dibuat pada masa itu. Bagaimana beratnya para pekerja paksa membuatnya bila diingat waktu itu belum ada alat-alat berat.
Menurut pengarang Amerika Serikat, Willard A Hanna, dalam Hikayat Jakarta, Daendels telah membangun sistem komunikasi darat yang unggul sekali, yang setelah itu dipakai sebagai jalan pos. Jalan ini sangat banyak sumbangannya bagi pemusatan sarana dan pembangunan seluruh Pulau Jawa.
Daendels juga memberikan perhatian terhadap penguatan tentara yang ketika ia tiba jumlahnya delapan sampai sepuluh ribu orang. Angkatan bersenjata ini diperkuat dengan datangnya batalyon keduabelas Prancis dari Kepulauan Mauritius, yang menempati wilayah yang kini dibatasi oleh Jl Sutomo (Pasar Baru) dan Kalilio (kini menjadi Atrium Senen).
Menurut buku Orang Indonesia dan Orang Prancis, sebagian dari gedung-gedung yang berada di sepanjang Jl Siliwangi (kini sudah dibongkar) I sampai IV masih dikuasai oleh unsur-unsur tentara Indonesia. Sejak zaman itu, militer selalu hadir di area sekitar Lapangan Banteng, yang pada masa itu disebut Paradeplaatz. Sekarang ini ditempati oleh Marinir yang letaknya berhadapan dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
Lapangan Monas sepanjang satu km dengan lebar 850 meter pada zaman Daendels merupakan lahan untuk latihan militer. Pada saat penaklukan Jawa akhir 1811, Lord Minto, gubernur jenderal Inggris untuk Hindia Belanda yang berpusat di Kalkuta (India) terpesona atas besarnya instralasi militer yang disebutnya sebagai ‘penempatan pasukan yang sangat besar dan mengagumkan’.
Sekalipun pendudukan Prancis di Nusantara tidak lebih dari tiga tahun, seperti juga pendudukan Jepang pada abad ke-20, namun akibatnya bagi perkembangan politik di Indonesia, seperti juga pengaruh pendudukan Jepang, sangat menentukan.
Sesuai dengan model Prancis pada waktu itu, pemerintahan Daendels telah meletakkan dasar-dasar sebuah negara sentralistik yang sampai sekarang masih dirasakan. Dialah yang memindahkan kota tua di sekitar Pasar Ikan ke Weltevreden di sekitar Pasar Baru dan Harmoni. “Di sana udara sama bersihnya dengan di Prancis,” dalih Daendel.
Daerah ‘Prancis’ tumbuh di sekitar Risjwijkstraat (kini Jl Majapahit). Di sini terdapat toko-toko milik Prancis yang mendatangkan barang-barangnya langsung dari Paris. Jalan ini terkenal di kalangan elit Batavia ketika itu. Di sini orang bisa membeli busana dan sepatu yang diatangkan dari Paris. Sementara opera Prancis sering kali datang ke Jakarta bermain di Shouwburg — kini Gedung Kesenian Pasar Baru, Jakarta Pusat.
pak.. mau tanya, kalo peninggalan orang-orang banten di batavia apa saja ya? adakah nama ki tapa itu ada kaitan dengan kebiasan di ujung kulon menyebut ki?