Hubungan pertama bangsa Arab dengan Indonesia terjadi sekitar abad ke-4 Masehi. Sejak saat itu — masih menggunakan kapal layar — dimulailah kiprah Arab Hadramaut ke Gujarat di pesisir pantai India Barat. Di sini mereka membangun perkampungan yang oleh orang India dinamakan Arabito.
Di antara mereka ada yang melanjutkan perjalanan ke Indonesia. Setelah singgah beberapa lama di Gujarat, pelabuhan yang banyak disinggahi kapal berbagai negara kala itu, mereka ke Indonesia dan menetap di Sumatera.
Hubungan Arab dengan India melalui jalur laut dimulai sejak abad pertama Hijriah. Merupakan hubungan pertama bangsa Arab dengan Timur Jauh pada umumnya dan kepulauan Nusantara khususnya. Para pedagang Arab itu menggunakan India (Gujarat) sebagai terminal pertama sebelum ke Indomesia. Gustave Le Bon dalam buku Civilisation deds Arab menyatakan bahwa dulu mereka adalah kaum pelancong terkemuka.
Mengingat hubungan yang sudah berabad-abad itu, seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, yang dihadiri ulama, budayawan dan sejarawan Indonesia, memutuskan bahwa Islam untuk pertama kali masuk ke Indodnesia pada abad pertama Hijriah dan langsung dari Arab.
Dari hasil penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah ditemukan 3000 tulisan pada batu dan logam yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebelum penjajah Belanda memasyukkan huruf Latin, sebagian besar bahasa di Nusantara menggunakan huruf Arab. Uang gulden pada masa Hindia Belanda juga memasukkan sebagian huruf Arab.
Pengaruh Arab di bidang kebudayaan makin kuat setelah masukkan Islam ke seluruh kepulauan Indonesia. Karena, bahasa Arab merupakan bahasa Alquran dan lidahnya Islam.
Setelah VOC hancur (1799), sebagian besar pelayaran jatuh ke tangan orang Arab. Sebagai contoh, pada 1855, orang Arab memiliki 75 kapal dengan kapten (nakhoda) orang Arab dan awak orang Indonesia. Di antara mereka adalah Sheikh Said Naum yang mendirikan Masjid Langgar Tinggi di Pekojan, Jakarta Barat, yang kini berusia lebih dua abad.
Dia juga membangun sejumlah musholla tua di Jakarta dan Palembang. Tanahnya yang besar dan luas di Tanah Abang (Jl KH Mas Mansyur) yang telah diwakafkan untuk pemakaman umum telah dijadikan rumah susun dan sebuah masjid oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an.
Di Palembang sejumlah saudagar Arab juga memiliki kapal yang mengangkut barang-barang antar pulau. Di Singapura keluarga Aljuneid dan Alsagoff memiliki kapal untuk memberangkatkan jamaah haji, termasuk dari Indonesia.
Pada abad ke-19 sebagian distribusi barang-barang di kota Batavia dikuasai orang Cina, Arab, dan India. Sebagian orang Arab terlibat dakam produksi dan penjualan batik, sehingga pada permulaan abad itu orang Arab merupakan orang terkaya setelah orang Eropa di Batavia. Demikian menurut Edrus Al-Masyhoer dalam buku Jamiat Kheir Sejarah dan Perkembangannya.
Orientalis Belanda, Van den Berg, mengatakan sesungguhnya pengaruh yang besar dalam penyebaran Islam di Indonesia adalah dari keturunan Arab. Di tangan mereka, demikian Van den Berg, tersebarlah Islam di antara para sultan Hindu di Jawa dan yang lainnya. Maksud orientalis Belanda ini adalah Wali Sembilan yang datang ke Indonesia lebih awal untuk menyiarkan Islam.
Keturunan Hadramaut juga berjasa mendirikan madrasah pertama di Batavia, Jamiatul Kheir, berdiri di Pekojan — Kampung Arab — pada 1901. Beberapa di antara mereka juga menjadi guru para ulama besar Betawi seperti Habib Ali bin Abdurahman Alhabsji (Kwitang), dan Habib Ali bin Husin Alatas (Bungur – Jakarta Pusat).
Aktivitas dakwah dan pengajian agama oleh ulama-ulama Betawi asal Hadramaut itu sudah ada sejak abad ke-18. Di antara mereka yang terlibat aktif dalam aktivitas itu ialah Habib Husein bin Abubakar Alaydrus di Luar Batang. Meskipun sudah dua setengah abad meninggal, makamnya yang terletak di samping masjid yang dibangunnya masih didatangi ribuan pelayat, terutama pada malam Jumat.
Majelis taklim Kwitang yang didirikan Habib Ali hampir seabad lalu, hingga kini masih tetap membludak didatangi para jamaah tiap Ahad pagi. Habib yang meninggal 1968 dalam usia 102 tahun ini juga dimakamkan di samping masjidnya.
Masih banyak lagi ulama Betawi yang berasal dari Hadramaut mengadakan pengajian agama, di rumah, di majelis taklim, dan di masjid-masjid tertentu yang biasanya berada di dekat kediaman mereka. Ada yang menggunakan metode ceramah, dan ada pula yang menggunakan metode salafiah atau halagah.
Metode terakhir itu diperuntukkan terutama bagi yang ingin mendalami ilmu keagamaan, yang biasanya dipimpin dalam program tadhassus. Sesuai dengan metode yang mereka lakukan itu ada yang bersifat khusus. Bahkan ada yang mengajar secara privat.
Di antara ulama terkenal Betawi yang menjadi murid mereka ialah KH Abdullah Syafi’i (Asafiiyah), KH Tohir Rohili (Tohiriyah), KH Abdul Ma’ruf (Darul Najah), KH Abdul Razak Makmun dan KH Syafiie, keduanya memiliki puluhan majelis taklim yang tersebar di Jakarta.
Belum lagi ulama Betawi yang menuntut ilmu di Makkah, seperti Guru Marzuki dari Rawabunga, Jakarta Timur, dan guru Mughni dari Kuningan. Keduanya telah mendapat ijazah Thariqah Al-Alawiyah dari Sayid Muhammad Syatta.
Assalamu ‘alaikum,
Abah Alwi Yth.,
Saya sedang melakukan penelitian tentang “Sejarah Datangnya Islam ke Indonesia melalui Keturunan Arab Hadramaut”. Untuk itu, saya membutuhkan referensi berupa buku, foto, atau dokumen yang berkaitan dengan tema tersebut di atas.
Apakah Abah memiliki atau mengetahui tentang bahan referensi di atas. Bila ada, dapatkah saya menggandakannya?
Terima kasih Abah, atas perhataian dan bantuannya.
Wassalam,
Muhamad Fajar
Abah Alwi Yth.,
Saya sedang melakukan penelitian tentang “Sejarah Datangnya Islam ke Indonesia melalui Keturunan Arab Hadramaut”. Untuk itu, saya membutuhkan referensi berupa buku, foto, atau dokumen yang berkaitan dengan tema tersebut di atas.
Apakah Abah memiliki atau mengetahui tentang bahan referensi di atas. Bila ada, dapatkah saya menggandakannya?
Terima kasih Abah, atas perhataian dan bantuannya.
Wassalam,
Muhamad Fajar