Jalan raya yang lengang dengan di kiri kanannya dipenuhi pepohonan rimbun,bukanlah suatu daerah pedesaan. Tapi, ia merupakan Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat, yang diabadikan pada tahun 1870. Kalau 138 tahun lalu jalan ini begitu sunyi dan mobil belum nongol, sekarang ini macetnya minta ampun.
Seluruh jalan yang menghubungkan Jalan Juanda (ketika itu bernama Noordwijk) dengan Jalan Batutulis dan Batuceper (Brendesch Laan) kini sudah tidak tersisa lagi: jadi hutan beton. Berupa perkantoran, hotel, puluhan showroom mobil hingga ke jalan-jalan sekitarnya. Sementara itu, pada sore hari Pecenongan
berubah fungsi menjadi salah satu pusat jajanan kaki lima di Jakarta. Yang terkenal nasi uduknya, sedangkan pembelinya banyak bermobil.
Pecenongan dan sekitarnya mulai banyak penghuninya ketika tahun 1808. Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels memindahkan pusat kota dari Pasar Ikan ke Weltevreden yang ketika itu berhawa sejuk. Di selatan Pecenongan terdapat Jl Asem Reges pada masa Belanda bernama Droossaerweg. Pasar Asem Reges sampai
1950-an jadi pusat perdagangan sepeda di Jakarta. Kala itu,sepeda merupakan alat transportasi utama di Jakarta. Para pegawai, mahasiswa, dan pelajar menggunakannya ke kantor dan sekolah. Kala itu, seluruh kantor, sekolah, pasar, dan bioskop ada tempat penitipan (parkir) sepeda.
Di Pecenongan terdapat toko buku dan percetakan milik Belanda: Van Dorp, salah satu toko buku terbaik di Jakarta sebelum diambil alih pada 1957. Kini menjadi kantor pusat perusahaan mobil PT Astra. Di seberangnya, (kini Jalan Veteran II) terdapat toko buku Visser & Co yang juga dinasionalisasi. Tempat toko ini berada, sekarang menjadi gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang kini sudah marhum. Di Pecenongan juga terdapat percetakan dan penerbit G Kolff yang nasibnya juga sama dengan kedua rekannya.
Ada satu hal yang tidak boleh dilupakan mengenai Pecenongan.Di sinilah Eddy Tansil, megakoruptor yang buron memulai usahanya, jual beli motor kecil-kecilan ketika datang dari Makassar. Dia pernah dipenjara di LP Cipinang setelah dituduh membobol uang Bapindo Rp 1,3 triliun (belasan tahun lalu). Berkat
kerja sama dengan pejabat LP, Eddy Tansil melarikan diri dan hingga kini masih buron.
Tinggalkan Balasan