Gang Tembok terletak di Kali Pasir, Jakarta Pusat. Jalan kecil ini menjadi terkenal, karena pada masa revolusi menjadi tempat perlawanan terhadap Belanda. Maklum letaknya di belakang gedung Menteng 31, yang kini menjadi Museum Juang.
Dari tempat yang membatasi Kali Pasqir dan Kwitang itulah Sukarni – Chaerul Saleh dan kawan-kawannya menggerakkan para pemuda melawan KNIL saat revolusi fisik. Dinamakan Gang Tembok, karena disamping gedung Menteng 31, yang sebelumnya merupakan sebuah hotel mewah, diberi tembok pembatas.
Di New York juga ada jalan bernama Wall Street (Gang Tembok). Di sinilah pusat perdagangan saham internasional. Ketika perdagangan bursa saham di Wall Street ambruk, maka ekonomi keuangan dunia ikut terkena imbasnya. Kegagalan Lehman Brothers yang melakukan kelolaan miliaran dollar AS membuat sebagian besar negara di berbagai belahan dunia cemas. Mereka tak mampu menghentikan gelombang krisis finansial, meski telah digelondorkan dana talangan triliunan dollar AS.
Begitu terkenalnya Wall Street, hingga Hollywood pernah membuat film dengan judul demikian. Pemainnya aktor beken Michael Douglas, putra bintang 1960-an Kirk Douglas. Film ini menceritakan tentang seluk beluk perdagangan saham seperti rakusnya para pemain di bursa. ”Rakus itu baik,” kata Michael Douglas dalam salah satu adegan kepada pialangnya.
Banyak ekonom dunia yang mengaitkan krisis global saat ini, hampir bersamaan dengan apa yang terjadi pada tahun 1929. Tapi, ketika itu belum banyak orang yang terjun ke bursa saham. Di Indonesia sendiri belum ada bursa saham semacam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Baru muncul ketika Orba. Tapi, yang jelas, depresi bulan Oktober 1929 merupakan bencana ekonomi dan bencana ini sangat cepat berkembang. Kekacauan yang terjadi di Wall Street telah membuat pincangnya neraca perdagangan dan dengan cepat meluncur berputar-putar ke bawah.
Kebetulan krisis finansial 79 tahun lalu itu juga terjadi pada bulan Oktober. Produksi menurun dengan amat cepat dan industri terhenti. Pabrik-pabrik tutup dan beribu-ribu penganggur antri menanti pembagian ransum. Sosialisme, komunisme, dan radikalisme mulai muncul. Dalam pemilihan umum di AS pada 1932, lebih dari satu juta orang memberikan suara untuk sosialisme dan komunisme.
Bencana yang mencekam seluruh dunia itu mengakibatkan Jerman ikut bangkrut dan rakyat berpaling pada Hitler dengan harapan akan dapat menolong Jerman dari kehancuran. Di AS sendiri, para petani menjadi kaum radikal karena hasil pertanian mereka tidak dapat menutupi produksi.
Di Sumatera Timur ribuan kuli perkebunan yang menganggur terpaksa dipulangkan ke Jawa, tanpa pesangon. Kwee Tek Hoay, seorang wartawnn menulis: Yang malaise atawa economisch depressie sudah mendatangkan kesengsaraan haibat pada manusia di seluruh dunia, itulah semua orang sudah tau. Bagaimana besar kadukaan, kasedihan dan kekalutan yang ditimbulkan tiap hari, hingga sekalipun anak-anak kecil bisa mangarti bagaimana haibatnya kasukaran yang manusia masih tanggung dan hadepkan di ini masa lantar malaise punya gara-gara.
Diberitakan, seorang milioner bernama Khong yang miliknya ditaksir satu miliun dan penghasilan per bulannya paling sedikit 50 ribu gulden, jadi jatuh pailit. Konglomerat dari Semarang ini jatuh miskin. Rumah-rumah sewaan dan onderneming (perkebunan) miliknya musnah disita bank.
Kwee Tek Hoay juga menulis berita dari Yogya: Kesehatan penduduk di desa-desa bertambah baik akibat pengaruh malaise. Penyebabnya lantaran di desa-desa kekurangan uang dan mencari uang sebenggol (segobang alias 21/2 sen) sulitnya bukan main membuat mereka belanja rumah tangga menjadi berkurang. Mereka lebih banyak makan nasi dengan sayur mayur yang ketika itu melimpah di pedesaan.
Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik, menyatakan, berita-berita surat kabar Indonesia maupun Cina mengungkapkan kejadian-kejadian dimana orang tua meninggalkan atau menjual anaknya, karena tidak kuat menghadapi cobaan dan tidak tahu lagi bagaimana memberi makan anak-anak mereka.
Dalam situasi yang demikian sulit itu, justru semangat nasioinalisme semakin meningkat, dengan makin menyala-nyalanya semangat kemerdekaan yang dipelopori oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Syahrir. Akibatnya, Bung Karno dibuang ke Flores dan kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Bung Hatta dan Syahrir dibuang ke Bovewn Digul dan kemudian dipindahkan ke Banda.
Bung Karno dalam tulisannya di Fikiran Rakyat menyerang kebijaksanaan pemerintah kolonial yang begitu banyak mengekspor hasil kekayaan bumi Indonesia, sementara hanya setengahnya saja yang diimpor. Hasil bumi Indonesia yang banyak laku di mancanegara ketika itu adalah karet, kopi, teh, gula, timah dan kapuk. Semuanya merupakan pengurasan kekayaan bumi Indonesia yang tidak mengenal batas.
Karenanya, ketika kemudian terjadi malaise dan nilai ekspor turun setengahnya, batas keuntungan masih sedemikian besar.
Tinggalkan Balasan