Besok, Ahad 25 Januari 2009, warga keturunan Cina akan merayakan tahun baru Imlek atau pesta musim semi. Imlek merupakan pesta rakyat paling meriah baik di Tiongkok maupun di negara-negara lain, yang banyak penduduk keturunan Cina. Di Asia Tenggara keturunan Cina berjumlah 60 juta orang dan terbanyak di Indonesia — melebihi Malaysia yang sepertiga penduduknya keturunan Cina.
Di Jakarta, keturunan Cina sudah bermukim jauh sebelum kedatangan VOC. Karena ketika Belanda datang sudah terdapat Kampung Cina. Letaknya bukan di Glodok, tapi di Pasar Ikan — sekitar terminal Jakarta Kota. Mereka baru pindah ke Glodok setelah terjadi peristiwa pembantaian terhadap warga Cina, Oktober 1740. Kampung mereka dibumihanguskan.
Sejak kedatangan Cina berabad-abad lalu, keturunan mereka tetap mempertahankan identitas dan kebudayaan nenek moyang dari daratan Cina. Sekalipun datang tanpa istri dan mengawini pribumi, terutama para budak belian. Mereka yang beragama Islam enggan kawin dan dijadikan gundik Cina.
Salah satu adat Cina yang dipertahankan adalah mengubah bentuk kaki dengan mengikatnya sehingga ukurannya menjadi kecil, karena jari-jarinya tertekan ke bawah. Kaki yang tidak normal dan berbentuk kaki babi itu dianggap cantik di kalangan suku bangsa Han, yang merupakan mayoritas penduduk Tionghoa. Kaki kecil itu khusus dibuat pada kedua kaki para wanita. Saking cantiknya maka diberi julukan ‘Bunga Lili Emas,’ tulis Prof James Danandjaja dalam Folklor Tionghoa.
Adat kebiasaan mengecilkan kaki dimulai oleh wanita penghibur dan wanita keraton pada masa permulaan Dinasti Song (960-1279). Pada penghujung dinasti tersebut kebiasaan itu menyebar di antara wanita-wanita keluarga cerdik pandai atau kelas intelektual yang memerintah Tiongkok.
Wanita yang kakinya dikecilkan tak dapat berjalan secara normal hingga kadang-kadang harus ditopang, karena untuk berdiri saja susah. Bagi kaki-kaki kecil itu dibuatkan sepatu mungil dengan sulaman indah. Jika berjalan pemilik kaki kecil ini mempunyai gaya khusus yang dianggap indah dan feminin sekali.
Pengecilan kaki dimulai saat seorang gadis berusia 5 dan 8 tahun. Kedua kakinya dibungkus ketat dengan sehelai kain panjang. Dengan cara paksa ini empat jari kecil pada kedua kakinya ditekuk hingga menempel ke telapak kaki. Rasa sakit yang terus dirasakan si gadis baru hilang setelah kakinya berhenti tumbuh.
Kondisi fisik semacam itu sangat didambakan oleh pria di Tiongkok pada masa lalu, karena dihubungkan dengan gengsi. Gadis dengan kaki kecil memiliki kesempatan lebih besar untuk menikah sehingga gadis-gadis petani juga ikut-ikutan diikat kakinya oleh orang tua mereka. Adat kebiasaan itu pada abad ke-19 dan 20 ditentang oleh pemberontak Taiping, Nasionalis dan juga Komunis.
Di Indonesia, seperti dituturkan James Danandjaya (75 tahun), tahun 1940 masih terlihat beberapa wanita tua dari suku Hokian yang memiliki ibu dengan kaki kecil di kota Malang. Sementara, di Jalan Mangga Besar, Jakarta Barat, ada seorang penjual obat tradisional Tionghoa yang juga berprofesi sebagai guru kungfu. Si istri yang berkaki kecil terkenal sebagai seorang jago kungfu.
Bahkan kungfu sang istri melebihi suaminya. Jika sedang bertengkar di rumah, suaminya ditendang keluar rumah hingga ke jalan. Ia juga pernah menaklukkan penjaja daging babi yang hendak membacoknya dengan golok. Penulis pada pertengahan 1940-an, saat di Senen, banyak menjumpai wanita berkaki kecil yang menjadi pedagang kelontong dan membuka pengobatan Cina (sinshe).
Sungguh malang nasib wanita Tionghoa kala itu. Seorang lelaki yang istrinya tidak melahirkan anak lelaki, dapat mengambil satu atau dua tiga orang istri, atau selir-selir apabila dia dapat membiayainya. Seorang kaya di Batavia biasanya memiliki banyak selir. Bahkan, kaisar Tiongkok memiliki harem besar dengan banyak selir tinggal di dalamnya.
Kendati kedudukan para selir berada di bawah para istri resmi, pemerintah Tiongkok memberlakukan anak selir dengan kedudukan yang sama dengan anak-anak istri pertama. Perceraian dalam keadaan tertentu diizinkan, tapi sangat jarang dilakukan, karena membawa aib bagi suami istri.
Sejak berdirinya RR Cina tahun 1949, kaum perempuan dibebaskan dari adat perkawinan feodal itu, dan kemudian ditularkan di Indonesia. Ada organisasi Tionghoa bernama Tionghoa Hwee Kwan yang sangat aktif menghilangkan adat istiadat lama.
Bila kita berjalan dari arah Harmoni ke Glodok, di Jalan Gajah Mada No 188, kita menjumpai sebuah gedung tua Sin Ming Hui, yang sayangnya sekarang ini hanya terlihat kalau kita memasukinya karena terhalang sebuah bangunan berlantai 30-an. Gedung yang pada masa Bung Karno diganti namanya menjadi Chandra Naya itu dulunya merupakan kediaman Mayor Cina, Khouw Kim An. Dia meninggal pada 13 Februari 1945 saat diinternir tentara Jepang.
Rumah keluarga Khouw yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari pusat perniagaan Glodok, Jakarta Kota, itu punya 100 kamar tidur. Lalu timbul pertanyaan, mengapa sebanyak itu? Jangan heran, pemiliknya yang tajir dan punya uang bejibun punya 14 orang istri, dan 24 orang anak. Belum lagi ratusan orang pelayan yang juga menempati rumah itu.
Pada zaman sebelum perang dunia II itu lazim bila orang kaya punya sederet istri dan selir. Untuk tiap istri dan anak-anaknya disediakan satu ruang lengkap dengan isinya yang serba mewah. Para istri dan selir itu bergantian melayani sang god father persis seperti raja-raja Mandarin.
Tinggalkan Balasan