Pemandangan di tepi Sungai Ciliwung seperti terlihat dalam foto tahun 1940-an sudah tidak akan kita jumpai lagi sekarang ini. Foto yang diabadikan di antara Jl Pegangsaan (kini Proklamasi) dan Matraman Dalam ini dipenuhi puluhan getek (rakit), tempat warga Jakarta menjadikan sungai ini sebagai tempat mereka mandi, cuci, dan kakus (MCK). Bahkan, mengambil wudu. Terlihat para ibu, bapak, dan anak-anak berada di getek-getek. Pemandangan seperti ini juga terdapat di berbagai tepi sungai di Jakarta kala itu.
Berbagai jenis pepohonan tumbuh rimbun di kedua tepi Sungai Ciliwung yang kini sudah sulit kita dapati. Pohon-pohon yang berfungsi untuk menyerap air, kini sudah digantikan oleh rumah-rumah yang berdiri di bantaran-bantaran sungai. Mereka yang tinggal di tempat ini jumlahnya mencapai ratusan ribu kepala keluarga (KK). Meskipun menjadi langganan banjir, para penghuni enggan dipindahkan ke tempat yang bebas banjir. Pemprov DKI Jakarta juga mengalami kesulitan untuk membangun Banjir Kanal Timur (BKT) karena lebih banyak disulitkan dengan pembayaran ganti rugi. Tidak seperti masa Belanda yang membangun Banjir Kanal Barat (BKB) pada 1916.
Sampai tahun 1950-an dan 1960-an, ketika penduduk Jakarta seperlima dari sekarang, Ciliwung banyak membawa berkah bagi ratusan ribu jiwa yang mendiami sekitarnya. Banyak warga Betawi yang kala itu berprofesi sebagai tukang perahu, membawa penumpang yang ingin menyeberang dari satu kampung ke kampung lain. Profesi lainnya adalah banyaknya tukang binatu di kampung-kampung. Meski belum nongol setrika listik, mereka menggunakan areng.
Orang Betawi yang kediamannya berdekatan dengan sungai, sejak kecil sudah pandai berenang dan ngebak di kali. Kegiatan tersebut merupakan permainan yang menggembirakan di samping menyehatkan. Ciliwung kala itu airnya dalam. Selain banyak ikan juga terdapat buaya. Ciliwung juga memberikan pekerjaan bagi pedagang bambu yang membawa dagangannya melalui sungai, sambil berhati-hati agar tidak terkena orang yang sedang mandi. Sewaktu-waktu, penduduk berebutan menangkap ikan mabuk yang mengapung di sungai, yang kala itu sering terjadi. Sekarang, kecebong juga enggan hidup di Ciliwung.
Tinggalkan Balasan