Menyelusuri Jl Kalibesar Barat, Jakarta Kota, kita akan menemukan sebuah gedung yang hampir seluruh bagian depannya berwarna merah. Pada salah satu tembok merahnya terdapat tulisan Toko Merah.
Toko aneh itu berdekatan dengan Stadhuis (Balaikota Batavia) yang kini masih tetap berdiri kokoh meskipun telah berusia tiga abad. Beberapa gubernur jenderal VOC pernah mendiami gedung berlantai dua yang dibangun oleh Gustaff Baron van Imhoff pada 1730. Begitu bersejarahnya gedung tersebut, sehingga banyak didatangi para wisatawan asing dan pecinta gedung tua.
Di depan gedung bersejarah tersebut mengalir Groote Rivier atau Kali Besar, yang menjadi saksi bisu pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa, yang terjadi 10 tahun setelah gedung tersebut berdiri (1740). Di muara Ciliwung itu pula, yang kala itu airnya jernih, pada pagi dan sore, para Indo-Belanda mandi. Sementara, pada malam terang bulan, para muda-mudi, sambil main gitar, bernyanyi menumpahkan isi hati mereka.
Melihat Toko Merah kita jadi ingat pada NV Jacobson van den Berg, sebuah perusahaan dagang Belanda yang dinasionalisasi pada tahun 1957 (pada masa Bung Karno), dan pernah menempati gedung serba merah tersebut. Pada zaman Belanda, NV Jacobson merupakan salah satu perusahaan raksasa yang memiliki jaringan tersebar di seluruh dunia dan memiliki cabang di seluruh kota di Nusantara.
Setelah Jepang menaklukkan Hindia Belanda (1942-1945), sejumlah karyawan Belanda, khususnya yang menduduki jabatan tinggi di Jacobson van den Berg dan empat perusahaan lainnya, raib tidak ketahuan rimbanya — diduga dibantai oleh Dai Nipon.
Dalam buku Toko Merah Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung, Thomas B Ataladjar menulis bahwa pada 1946 — setelah NICA berkuasa kembali di Jakarta — perusahaan raksasa NV Jacobson van den Berg kembali menempati gedung lamanya itu, yakni Toko Merah.
Didirikan di Amsterdam pada 1 Juni 1860, NV Jacobson van den Berg, memiliki kantor di Toko Merah, Jl Kalibesar 111, Jakarta Barat. Perusahaan yang bergerak di bidang asuransi dan industri itu merupakan salah satu dari The Big Five (lima perusahaan raksasa milik Belanda), selain Internatio, Lindeteves, Borsuimy dan Geo Wehry.
The Big Five membentuk sebuah trading house yang kuat dan menguasai jaringan bisnis perdagangan, produksi, jasa, industri, serta distribusi di berbagai negara.
Ketika dilakukan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia sebagai hasil dari Konperensi Meja Bundar (KMB) Den Haag pada tahun 1949, masih banyak persoalan yang belum tuntas. Bung Karno, yang tidak sabar, karena persoalan daerah paling timur Indonesia itu tidak kunjung selesai, pada 13 Pebruari 1956 memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.
Keputusan Bung Karno itu disambut hangat oleh rakyat Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang masih beroperasi diambil alih. Dalam pidatonya melalui RRI Bung Karno mengancam agar para buruh mengambil alih semua perusahaan Belanda bila tidak mau menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia.
Begitu mendengar pidato Bung Karno itu, para buruh langsung mengambil alih perusahaan milik Belanda, termasuk NV Jacobson van den Berg. Perkebunan dan perbankan milik Belanda juga dinasionalisasi. Bank-bank peninggalan Belanda, setelah dilebur, menjadi Bank Mandiri. Sedangkan The Big Five kemudian dilebur menjadi PT Dharma Bhakti.
Ketika terjadi sengketa RI-Belanda, banyak orang Indo yang tinggal di Indonesia, khususnya di Jakarta, memilih meninggalkan Indonesia. Sejak saat itu banyak orang Indonesia kehilangan teman Indonya, yang umumnya lebih cantik dibanding cewek bule.
Cewek Indo tahun 1950-an senang main bola keranjang seperti basket sekarang ini. Meski hanya latihan, banyak penontonnya kalau mereka main di Lapangan Banteng. Para penonton umumnya datang untuk ‘cuci mata’.
Mereka umumnya tinggal di Krtamat IV, V, dan VI, Salemba dan Matraman. Rumah-rumah mereka cukup besar dengan pekarangan luas. Di Salemba, sejumlah rumah yang pernah ditinggali Indo, kini menjadi gedung Depsos, dan sejumlah pertokoan.
Di rumah-rumah mereka yang luas di Jakarta, keluarga Belanda umumnya memiliki empat atau lima orang pembantu, seperti jongos, tukang kebun yang menyapu pekarangan dengan sapu lidi, serta seorang pembantu yang menyibukkan diri di sumur menimba air.
Pada pukul enam pagi, sang suami, didampingi istri, sebelum ke kantor, berada di beranda untuk minum kopi tubruk sambil mengisap rokok. Dia masih memakai slaapbroeken (pakaian tidur). Kala itu, bila sore hari banyak lelaki Indo memakai piyama yang merupakan pakaian saat mereka berada di rumah. Sementara para mevrouw (nyonya) memakai kebaya dan kain batik meniru gaya pribumi.
Anak-anak mereka pergi ke sekolah dengan dokar atau sepeda, dan tiba kembali di rumah pukul satu siang. Setelah melepaskan sepatu, mandi, dan memakai baju yang bagus, mereka duduk rapi untuk makan siang dengan sambal goreng tempe yang selalu dihidangkan.
Kemudian, mereka istirahat tridur siang. Pakaian rumah para wanita adalah kimono dan hoskot. Pakaian rumah ini dapat pula dikenakan selama sarapan dan waktu minum kopi di beranda yang biasanya nampak terbuka dari jalan.
IMHO, borsumij (bukan borsuimy) menjadi borsumij wehry ?