Foto pertengahan 1950-an memperlihatkan hiruk pikuknya Pancoran di kawasan Glodok, Jakarta Barat, 60 tahun lalu. Terlihat masih leluasa berkeliaran di jalan raya – seperti juga di tempat-tempat lain di Jakarta ketika itu. Adanya becak mengakibatkan terjadinya urbanisasi besar-besaran dari daerah pedesaan di Pulau Jawa ke Jakarta. Di sebelah kiri foto, terlihat pasar Pancoran ketika itu yang kini keseluruhannya menjadi bangunan modern. Terlihat trem listrik yang menyusur dari Pasar Ikan menuju Kramat dan Jatinegara.
Pancoran—pusat perbelanjaan di Glodok—memiliki sejarah panjang. Di kawasan itu, pada 1670, dibangun semacam waduk atau aquada. Tempat penampungan air dari Kali Ciliwung itu dilengkapi dua pancuran yang terbuat dari batang kayu yang dilubangi. Kedua pancuran itu mengucurkan air dari ketinggian 10 kaki (tiga meter lebih). Dari sana, air diangkut dengan perahu oleh para penjaja di sepanjang saluran (kanal) yang dalam Belanda disebut grachten.
Dari tempat ini pula, para kelasi biasa mengangkut air untuk kapalkapal yang berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa. Kala itu, Batavia terkenal dengan airnya yang jernih dan dapat langsung diminum. Dari tempat penampungan, kemudian air disalurkan ke Kastil Batavia melalui Jl Pintu Besar Selatan. Dengan adanya saluran air dari kayu, di halaman Balai Kota (kini Museum Sejarah DKI Jakarta) dibuat pula air mancur.
Di pusat niaga dan belanja Pancoran di Glodok pada Oktober 1740, terjadi pembantaian massal oleh VOC. Diperkirakan, sekitar 5.000 hingga 10.000 warga Tionghoa dibunuh, termasuk orang tua, wanita, hingga bayi, bahkan yang tengah dirawat di rumah sakit. Pada masa Bung Karno, Pancoran dan Glodok pernah menjadi pasar gelap jual beli dolar yang dilakukan secara bisik-bisik. Dikabarkan juga bahwa tempat ini menjadi pusat penjualan barangbarang selundupan di pusat pertokoan elektronik Harco yang terletak di depannya. Selain itu, pertokoan Harco merupakan pusat penjualan VCD porno.
Di ujung Pancoran, terdapat Jl Toko Tiga. Di tempat itu, pernah hidup seorang playboy, yaitu Oey Tambahsia, pada pertengahan abad ke-19. Dia digambarkan sebagai seorang kaya raya berwajah tampan. Untuk mendapatkan wanita, dia tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan. Pada 1856, dia dihukum gantung di depan gedung Balai Kota (kini Gedung Museum Sejarah DKI Jakarta) dengan tuduhan melakukan rangkaian pembunuhan dan tindak kriminal.
abah mw nanya..kalo asal kata glodok itu sendiri katanya berasal dari suara air pancuran ya?terimakasih
air yg dimasak ame perempuan betawi klu ude matang dibilang ame suaminye air lu tu ude glodok