Berbelok ke arah kiri setelah memasuki Jalan Bekasi Raya dari arah penjara Cipinang menuju Pulogadung, terdapat Jalan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur. Tidak lebih dari 200 meter dari jalan raya beraspal ini kita akan menjumpai masjid Salafiah yang sudah berusia hampir empat abad. Masjid ini, yang dulunya merupakan sebuah mushola dibangun oleh Pangeran Ahmad Jaketra pada tahun 1620. Satu tahun setelah pangeran dan seluruh pengikutnya hijrah dari kawasan Jakarta Kota ke Jatinegara Kaum.
Berdasarkan catatan sejarah, setelah menaklukkan Jayakarta pada Mei 1619, VOC kemudian membakar keraton, seluruh perumahan abdi dalam dan rakyat Jayakarta, termasuk sebuah masjid. Pangeran dan para pengikutnya kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum, sambil bersumpah untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kata Jatinegara ditafsirkan sebagai ‘negara sejati’ tetapi juga kawasan pohon jati. Sedangkan kata ‘kaum’ menunjukkan kekerabatan yang tinggal di daerah ini, yang terdiri dari para keturunan dari Pangeran Ahmad Jaketra.
Jakarta, dulunya banyak tumbuh pohon jati, yang hingga kini masih diabadikan untuk nama kampung dan tempat. Seperti Jatiwaringin, Jatipetamburan, Jatipadang, Jatimurni dan masih banyak lagi. Hutan jati yang dulu banyak terdapat di Jakarta telah dikuras sejak masa VOC karena laku keras di pasaran internasional.
Para penduduk Jatinegara Kaum yakin bahwa Pangeran Ahmad Jaketra memilih tempat ini yang saat itu masih sangat terpencil untuk melawan Belanda. Terbukti, bahwa berdasarkan catatan sejarah, sampai 60 tahun setelah VOC berkuasa, Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan.
Jayakarta yang menjadi nama pengganti Sunda Kelapa setelah Falatehan mengusir Portugis dari Teluk Jakarta, saat ditaklukkan VOC berada dibawah status kesultanan Banten. Hingga saat ini pengaruh Banten itu masih cukup kental di Jatinegara Kaum. Mereka, terutama orang-orang tua masih menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari.
Menurut cerita rakyat Jatinegara Kaum — seperti diceritakan Abdussomad, staf peneliti LIPI — tidak seperti ketika masih berada di Jayakarta (kira-kira di depan Hotel Omni Batavia dan depan terminal bus Kota), pangeran Ahmad Jaketra menampakkan diri sebagai rakyat biasa dan tidak tinggal di istana.
Dalam hubungan ini ia meminta anak keturunannya untuk merahasiakan identitas dan kuburannya kepada siapapun selama Belanda masih berkuasa. Selain itu, anak keturunannya dilarang berbahasa Melayu dalam pergaulan antar mereka.
Makam Pangeran Ahmad Jaketra dan keluarganya yang terletak di sekitar masjid Salafiah baru diumumkan pada tahun 1956, bertepatan dengan peringatan ulang tahun Jakarta ke-429 atas saran Wedana Matraman Singgih yang masih keturunan pangeran.
Kampung Jatinegara Kaum dulunya hanya dihuni oleh keluarga pangeran Ahmad Jaketra, Sultan al Nassar dan pangeran-pangeran dari kesultanan Banten. Karena dihuni oleh keluarga-keluarga tersebut dan anak keturunannya mereka kemudian menyebut Jatinegara Kaum, yaitu kampung yang dihuni oleh keluarga tersebut.
Sekarang ini, sudah banyak diantara mereka yang tidak lagi tinggal di Jatinegara Kaum dan tersebar di berbagai tempat. Sekalipun demikian mereka tetap menjalin hubungan dengan kampung asalnya. Seperti saat-saat berziarah ke makam-makam kakek dan nenek mereka di Jatinegara Kaum.
Sebagaimana kampung-kampung lainnya di Jakarta, Jatinegara Kaum juga merupakan kampung yang padat penduduknya. Yang menyedihkan sebagian rumah-rumah di kampung ini sekarang pemiliknya bukan lagi penduduk asli, tetapi pendatang. Seperti dituturkan oleh Abdussomad, di RW03 – tempat pemukiman masyarakat asli Jatinegara Kaum – dari 600 KK separuhnya adalah pendatang. Bahkan, dari 11 RT yang ada di RW 03 empat diantaranya diketuai oleh pendatang.
Sempitnya lahan karena telah berubah menjadi perumahan, mengakibatkan pepohonan dan buah-buahan yang dulu sangat syarat kini hampir tidak ada. Padahal semua buah-buahan yang ada di Jakarta, seperti duku, salak, mangga, rambutan, durian dan masih banyak lagi tumbuh subur di sini. Menurut keterangan penduduk asli, buah-buahan ini sengaja ditanam Pangeran ketika hijrah.
Akibat pesan dari Pangeran, Jatinegara Kaum dapat dikatakan dahulunya merupakan kampung tertutup bagi masyarakat luar. Ini untuk merahasiakan identitas mereka dan sesuai dengan fatwa pangeran. Bahkan, sampai akhir tahun 1960’an tanah yang membatasi kampung Jatinegara Kaum dan Rawamangun masih merupakan daerah persawahanan. Sedangkan jalan di sini yang sudah hotmix, dulunya tanah. Bila hujan becek. Sedangkan menurut Abdussomad dari LIPI, untuk menghindari masuknya pendatang penduduk membuang kotoran di jalan tersebut. Ini terjadi sampai 1970’an.
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan para anak muda menggunakan antara bahasa Sunda dan Jakarta saat berkomunikasi dengan orang tuanya. Kekerabatan dan tutur kata mereka memang lebih dekat ke Sunda ketimbang Betawi.
Pangeran Ahmad Jaketra sendiri memilih daerah ini karena tanahnya subur. Pohon bambu yang tumbuh disepanjang Kali Sodong (Sunter) merupakan salah satu sumber kehidupan mereka. Menurut cerita rakyat di sini, hampir semua tumbuh-tumbuhan kecuali kayu jati, sengaja dibawa Pangeran. Menurut penelitian Abdussomad dari LIPI, industri furniture (mebel) yang banyak terdapat di daerah Klender konon berasal dari Kampung Jatinegara Kaum.
Masjid Assalfiyah sendiri oleh pangeran, ketika itu dijadikan bukan saja sebagai pusat perlawanan terhadap Belanda, tetapi sekaligus sebagai pusat penyebaran Islam. Banyak keturunannya seperti Pangeran Sanghiang dan Pangeran Sake merupakan jurudakwah-jurudakwah yang handal di berbagai tempat di Jawa Barat.
Ketaatan terhadap Islam hingga kini masih membekas dikalangan penduduk Jatinegara Kaum. Sejak umur 6 tahun anak-anak sudah diberikan pendidikan agama. Bahkan para orang tua mereka sendiri yang sering mengajak mereka ke surau-surau atau masjid.
Tinggalkan Balasan