Pemda DKI Jakarta pada tahun 1993 berencana untuk menghidupkan kembali angkutan trem. Menurut Kakanwil Departemen PU DKI, M Lanti waktu itu, sejenis trem yang akan dioperasikan berupa Metro Repeat Trafic (MRT). Jalur trem ini adalah jurusan Blok M – Kota. Dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan lalu lintas Blok M-Kota. Bank Dunia dikabarkan bersedia memberikan dana 55 persen dari anggaran sebesar 12,1 miliar. Sisanya dari APBN (45%). Sejauh ini tidak ada kelanjutan dari proyek tersebut.
Bagi warga Jakarta angkutan trem bukan masalah baru. Angkutan ini belum terlalu lama dihapuskan. Baru akhir 1950’an. Setelah trem mendominasi angkutan di Ibukota selama hampir tiga perempat abad. Tio Tek Beng, yang lahir di Jakarta tahun 1887, membuat tulisan berjudul ‘Kehidupan saya dan Keadaan di Jakarta sampai Sekarang (1959)”.
”Saya tidak mengalami zaman kereta pos. Tapi saya masih sempat menyaksikan trem kuda yang mulai beroperasi 1869. Trem ini berupa kereta panjang yang berjalan diatas rel. Tapi ditarik oleh tiga atau empat ekor kuda yang kuat-kuat. Kusirnya menggunakan trompet sebagai pengganti
klakson.”
Trem kuda yang disebut tramwya ini, kata Tio Tek Beng, berangkat dari kota Intan di Pasar Ikan. Sampai di Harmoni yang juga disebut rumah bola (kini menjadi bagian dari Sekretariat Negara setelah digusur pada pertengahan 1980’an. Relnya bercabang dua. Satu ke Tanah Abang, satu lagi melalui Pintu Air ke Pasar Baru, Lapangan Banteng, Pasar Senen, Kramat dan terus ke Jatinegara (kini terminal Kampung Melayu).
Trem kuda ini dapat mengangkut 40 orang. Tarif dari Kota Intan ke Kramat 10 sen. Tarif yang sama dari Kota Intan ke Tanah Abang. Setiap hari antara pukul 05.00 sampai 20.00 sebuah trem kuda lewat tiap lima menit. Para penumpang mendapat karcis yang harus dikembalikan saat hendak turun. Penjual karcis membunyikan lonceng tiap ada penumpang yang hendak turun. Mendengar lonceng, kusir akan memutar alagt seperti kompas, yang berfungsi sebagai rem.
Trem kuda kemudian digantikan dengan trem uap dan terakhir kali trem listrik. Wartawan kenamaan Mochtar Lubis yang berkunjung pertama kali ke Jakarta pada tahun 1939 atau 1940, saat ia masih remaja menceritakan: ”Keunikan Jakarta dimasa itu yang kini telah sirna adalah trem kota, yang menjulur dari Jatinegara hingga ke Kota (Glodok). ”Saya amat senang naik trem, karena selain harganya murah, juga sangat praktis. Di trem ada kelas satu yang biasanya hanya diisi oleh orang Belanda. Harganya sebenarnya tidak terlalu jauh lebih mahal dari kelas dibawahnya, tetapi tentu bagi orang pribumi sudah tidak terjangkau. Tetapi saya (karena telah disengat perjuangan nasionalis Indonesia), sering duduk di kelas satu hanya untuk membuat orang-orang Belanda yang berada didalamnya merasa tidak enak. Mereka akan memandang saya, dan sayapun balas memandangi mereka. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, karena saya telah mkembayar karcis kelas satu.”
Menurut buku ‘Sekitar 200 tahun sejarah Jakarta (1750-1945)’ yang diterbitkan Dinas Museum dan Pemugaran DKI, trem uap waktu itu diusahakan oleh Nederlandsch-Indie Tramweg Maatchappij. Trem listrik diusahakan oleh Bataviasche Electrische Tramweg Maatchappij. Trem uap menjelujur dari Kota sampai Meester Cornelis (Jatinegara). Dan terbagi menjadi dua jalur, yakni Kota – Kramat dan Kramat – Meester Cornelis. Ongkosnya 20 sen di klas I dan 10 sen klas II.
Trem tersebut mulai dari Kasteelplein (gedung Fatahillah di kota lama) – lalu ke Nieuwpoorstraat (Jl Pintu Besar), sepanjang Molenvliet West (Jl Gajah Mada), Rijswijk (Jl Veteran) – Postweg (Jl Pos di Pasar Baru), Waterlooplein (Lapangan Banteng), Senen – Kramat – terus ke Meester Cornelis dan terakhir di stasion yang terletak di ujung Kerkstraat (Jl Gereja).
Trem mulai beroperasi pukul 05.00 sampai 7 petang. Sesudah itu tidak dibenarkan beroperasiÿ20dengan pertimbangan untuk memberikan kesempatan kepada beberapa keramaian di Kota Lama. Di kawasan Kota waktu itu hampir tiap malam ada keramaian yang dikunjungi orang dari berbagai penjuru Jakarta.
Eksplorasi trem listrik meliputi lima jalur. Jalur I (orang menyebutnya line) Menteng – Kramat – Senen – Vrijmetselaarweg (jl Budi Utomo) – Gunung Sahari – Sawah Besar – Jakarta Kota pulang pergi. Jalur 2: Menteng – Willemslaan (Jl Perwira) – Harmoni pulang pergi. Jalur 3 Menteng – Willemslaan – Vrijmetselaarweg pp. Jalur 4 : Menteng – Tanah Abang – Harmoni pp. Jalur 5 Vrijmetselaarweg – Willemslaan – Harmoni pp.
Untuk semua jalur diadakan abonemen bulanan. Seorang pria Arab ketika ditanya kondektur apakah ia abonemen, menjawab: ”Bukan ane Abubakar.” Saat trem melewati Alaydruslaan (Jl Alaydrus), kondektor berteriak: ”Alaydrus turun!” Seorang penumpang keturunan Arab langsung menjawab: ”Ane turun di Kota.”
Keliling kota naik trem sangat menyenangkan. Kita tidak harus jejal-jejalan seperti di bus kota atau KRL sekarang. Penumpangnya ketika itu juga sangat disiplin untuk membeli karcis. Setelah merdeka banyak yang tidak mau lagi membeli karcis, seperti di KRL sekarang ini. Alasannya: ”Kok sudah merdeka masih harus membeli karcis.”
Trem jalannya tidak terlalu kencang antara 20 – 30 km per jam. Kalau ada ‘lampu merah’ trem berhenti. Tapi, ‘lampu merah’ waktu itu bukan menggunakan lampu otomatis seperti sekarang. Polisi harus bergantian berjaga di perempatan jalan. Dengan tangannya ia memutar tanda lalu lintas terbuat dari besi, merah dan hijau. Merah berarti berhenti dan hijau baru boleh jalan kembali. Warna kuning sebagai tanda lalu lintas waktu itu belum dikenal. Waktu itu disiplin berlalu lintas masih sangat tinggi.
Sebelum kereta api beroperasi pada 1873, hubungan Jakarta – Bogor melalui jalan Pos (Grote Postweg) di depan gedung Museum Sejarah DKI Jakarta Kota, adalah kahar atau sejenis pedati yang ditarik dua ekor kuda. Ongkos ke Bogor secara borongan (empat orang) 12,50 gulden (harga beras per litar waktu itu 3,50 sen). Lama perjalanan 10 jam. Tapi bagi yang bepergian seorang diri bisa menyewa joli dengan ongkos 1,25 gulden. Joli adalah tandu yang dipikul empat orang. Tentu saja naik joli lebih lama dari kereta kuda. Apalagi waktu itu tidak ada warung di sekitar Jakarta – Bogor. Tidak jarang untuk jarak hanya sekitar 60 km waktu itu orang harus menginap di jalan. Lebih-lebih pada musim hujan.
Tinggalkan Balasan