Gedung yang konstkruksinya seperti kereta api, panjang 120 meter dan lebar 10 meter, telah menambah semarak kota tua Pasar Ikan, Jakarta Utara. Gedung berlantai dua yang tiang-tiang dan jendela-jendelanya bewarna merah kecoklakan terlihat serasi dengan tembok gedung yang kekuning-kuningan.
Melihat penampilannya saat ini siapa sangka Gedung Galangan VOC, yang letaknya hanya ‘setimpukan batu’ dari pelabuhan tua Sunda Kelapa, itu adalah salah satu gedung tertua di Jakarta. Direnovasi sejak 1998 dan diresmikan setahun kemudian, sebelumnya memang merupakan galangan kapal milik VOC. Gedung yang kini terhalang oleh jalan besar, dahulunya terletak di tepi laut. Di galangan kapal yang dibangun 1632 inilah, armada niaga dari mancanegara setelah mengarungi samudera berbulan-bulan melalui Tanjung Harapan (Suez belum dibuka), memerlukan perawatan dan perbaikan di tempat ini.
Gedung yang kini menjadi tempat bagi masyarakat ‘berduit’ untuk menikmati santapan dan hiburan dalam suasana tempo doeloe yang menarik, mungkin salah satu saksi sejarah terlama tentang kesulitan-kesulitan warga kota menghadapi penjajahan. Di tempat inilah lebih dari 300 tahun lalu, para tukang kapal yang mahir, diantaranya para budak belian bekerja, tinggal, dan juga mati muda. Karena para budak yang merupakan mayoritas penduduk Batavia waktu itu, telah diperlakukan sangat sewenang-wenang dan diluar prikemanusiaan. Dengan makanan dan tempat tinggal sangat buruk.
Di sekitar galangan inilah yang keberadaannya dengan benteng (kasteel) VOC hanya dipisahkan oleh Kalibesar [kini dikenal dengan nama kali Opak, dulunya merupakan kawasan Batavia paling elit]. Di Jl Tongkol dan Jl Ekor Kuning, yang waktu itu bernama Tigergracht dan Heerenstraat, mereka membangun gedung-gedung megah di tepi kali yang airnya masih jernih.
Souw Bing Kong (Bengkong), Kapiten Cina pertama diantara kelompok elit yang tinggal disalah satu gedung mewah di sini. Bahkan, pengusaha perkapalan, kontruksi dan perkebunan gula kaya raya ini membangun sebuah wisma mewah bergaya Cina dikawasan ini. Dia sahahat akrab Gubernur Jenderal JP Coen, sejak sama-sama di Banten. Ketika Coen mendirikan Batavia (1619), dia mengikutsertakan Bengkong dan para pengikutnya.
Begitu akrabnya persahabatan keduanya, terbukti bahwa mereka pada sore hari sering berjalan kaki bersama, sambil menghirup angin laut yang segar. Coen juga sering datang kerumah pemimpin masyarakat Cina yang kaya raya itu. Sambil minum teh mereka berbincang-bincang mengenai soal perdagangan dalam bahasa Portugis yang sama-sama mereka kuasai.
Jenderal Coen, sejak awal selalu berupaya untuk mengisi kota Batavia dengan orang-orang Cina. Yang dianggapnya pekerja rajin, tekun, ulet dan pantang menyerah. Tidak tanggung-tanggung, Coen memberikan tanah dan sekaligus mempercayakannya sebagai pengawal keamanan kota.
Dalam ambisinya mengisi Batavia dengan orang Cina, Coen telah mengambil tindakan berani, tapi juga edan. Tanpa peduli tindakannya melanggar hukum, ‘si jangkung’ (gelar Coen), pada 1622 memerintahkan armada-armada lautnya untuk mengarungi Tiongkok Selatan. ”Culik mereka yang muda dan kuat, dan angkut ke Batavia,” perintahnya.
Membengkaknya populasi warga Cina dapat dilihat dari hasil sensus waktu itu. Pada 1619 saat Batavia dibangun jumlah mereka 400 jiwa. Setahun kemudian (162) jadi 800 jiwa. Tahun 1674 sudah 2747 jiwa dan 1740 menjadi 10.574 jiwa.
Tapi, usaha Coen untuk menculik orang-orang Cina tidak perlu lagi diteruskan. Karena, kemudian mereka sendiri yang berbondong-bondong datang setelah mendengar kawan-kawannya menikmati kemakmuran di Batavia. Orang-orang Belanda sendiri jadi takjub dan memuji keberhasilan mereka dalam mengumpulkan harta. Hanya dalam waktu singkat singkat mereka memiliki rumah sakit yang lebih baik dan besar dari RS Belanda. Memiliki sekolah yang lebih banyak dan lebih baik dari sekolah Belanda.
Kapten Bengkong dan para penggantinya mengurus masyarakat Cina laksana raja-raja Mandarin. Menerima pajak yang dibayar dengan patuh oleh orang-orang Cina yang berterima kasih atas kesempatan yang mereka terima untuk mengumpulkan kekyaan, seperti pajak jelinan rambut panjang, pajak kuku panjang. Sampai akhir abad ke-19 etnik Cina yang datang ke Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian (Fujian) di Cina Selatan. Termasuk Oei Tjie Sien (1835-1900), ayah Oei Tiong Ham, pengusaha terbesar di Asia Tenggara sebelum PD ke-2 yang kegiatan dagangnya terdapat di kota-kota megapolitan dunia. Saat datang ke Indonesia, hanya sebagai pedagang keliling bahan pecah belah dari rumah ke rumah.
Us
Menarik, seyogianya bangunan2 tua bersejarah ini dipertahankan, dikestarikan untuk objek penelitian sejarah di masa akan datang. Salam dari tenggara kalimantan, yuk mampir di http://www.imisuryaputera.co.nr
saya setuju itu! dan untuk diperkenalkan kepada anak cucu kita juga.