H Eddie M Nalapraya, (70), mantan Wagub DKI Jakarta yang kini anggota DPA, beberapa waktu lalu ke Kwitang, Jakarta Pusat. Sambil membawa cucunya, Ketua Umum IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) ini rupanya kangen untuk bertemu kawan-kawan lama selama ia tinggal dan dibesarkan di kampung tersebut.
Tentu saja, cucunya tak paham, ketika kakeknya menceritakan bahwa saat kecil ia sering mandi dan berenang di Ciliwung yang terletak di dekat kediamannya. Ciliwung sekarang berbeda dengan Ciliwung setengah abad lalu. Ketika itu airnya masih cukup jernih. Dalamnya bisa dua sampai tiga meter. Bagi anak-anak, berenang sambil menciprat-cipratkan air waktu itu sungguh nikmat.
Sekarang, Ciliwung berubah fungsi menjadi tempat sampah terpanjang di dunia, kotor, menjijikkan dan juga bau. Bukan saja ikan tidak dijumpai lagi, bahkan kecebong pun ogah tinggal di Ciliwung.
Tapi, bukan cuma Ciliwung yang bernasib demikian. Banyak sungai lain di Jakarta mengalami nasib serupa. Jakarta mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang paling mempunyai banyak sungai. Meskipun tak sampai ‘seribu’, seperti judul tulisan ini, secara kasar ada 13 sungai besar yang membelah-belah wilayah Jakarta dari arah Selatan hingga Utara. Atau Barat dan Timurnya.
Di Barat terbentang kali Angke, kali Blandongan, kali Krukut, dan kali Grogol. Di Timur ada kali Gunungsahari dan kali Sunter. Ada lagi Kalibesar yang menampung air Kali Krukut di ujung Barat Jl Pancoran (Glodok) setelah jembatan Toko Tiga, Jakarta Kota dan membawanya terus mengalir ke arah Barat untuk akhirnya membelok ke Utara.
Belum lagi ratusan anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lainnya. Maka, diperlukan waktu lama dan menguras cukup banyak tenaga kalau kita mau menelusurinya satu persatu untuk menghitungnya.
Tempo doeloe jauh lebih banyak lagi. Khususnya di Utara kota, tempat awal berdirinya Batavia. Jumlah sungai di Jakarta mencapai rekor di masa kekuasaan VOC atawa kompeni menurut lidah Betawi. Ini akibat hobi orang Belanda masa itu. Mereka gemar menggali kali-kali buatan atau kanal-kanal, yang mereka namakan grachten. Konon, karena mereka rindu dengan kota-kota di negerinya yang sampai dewasa ini masih terbelah-belah oleh beberapa grachten.
Kali-kali atau grachten itu juga dibangun karena pertimbangan ekonomis-komersial. Merupakan sarana utama bagi angkutan barang-barang dagangan untuk memasok kota Batavia dari arah selatan. Serta mengangkut berbagai komoditas untuk daerah pedalaman dari Sunda Kelapa.
Seperti lalu lintas di daratan, sampan atau perahu yang melewatinya harus berhati-hati agar tidak menabrak orang-orang yang tengah mandi, mencuci pakaian dan buang air besar. Konon, waktu itu ada kali-kali buatan yang oleh pemiliknya diharuskan membayar tol bila perahu atau sampan melewatinya. Seperti sekarang kendaraan bermotor harus membayar saat melewati jalan tol.
Para elit Belanda ketika itu membangun rumah dan gedung mewah di tepi kali, kanal dan parit-parit. Begitu banyaknya kanal dan parit hingga Batavia mendapat julukan kota air. Bahkan diberi gelar ‘Venesia dari Timur’. Seperti di Jl Pangeran Jayakarta, bagian selatan Glodok dimasa lampau golongan kaya membangun rumah-rumah peristirahatan. Di sini terdapat sungai yang sekarang menjadi got besar. Dahulu, di sungai ini para muda-mudi Belanda sering bercintaan sambil menaiki perahu dan memetik gitar.
Bukan hanya elit Belanda, para hartawan Cina pun banyak membangun rumah dan gedung mewah di tepi sungai. Konon, ada seorang hartawan Cina bernama Oey Tambah Sia, putera Kapiten Cina yang hidup pada pertengahan abad ke-19, karena begitu kaya rayanya, melakukan pameran kekayaan dengan menghambur-hamburkan uang. Dia selalu membersihkan diri dengan lembaran uang kertas setelah melakukan hajat besar di Kali Toko Tiga.
Tidak heran bila tiap pagi terjadi perkelahian berdarah diantara orang-orang yang memperebutkan lembaran uang kertas di sungai itu. Seperti juga sungai-sungai lainnya, kali di Jl Toko Tiga di kawasan Glodok airnya hitam seperti air comberan dan dipenuhi sampah.
Begitu banyaknya sungai, terusan dan kanal yang telah hilang atau berubah fungsi di Jakarta. Seperti Kali Krukut di sebelah pasar Tanah Abang yang sekarang sudah jadi got sempit, dulunya merupakan sarana angkutan lalu lintas sangat penting. Sungai ini dihubungkan dengan Harmoni. Kalau Pasar Tanah Abang memiliki kali Krukut, Pasar Senen memiliki kali Bungur, yang dulu aktif dilayari perahu dan sampan dari Tanah Abang ke Senen. Dahulu, taman yang terletak di depan Gunung Agung dan Markas KKO Jl Parapatan hingga Senen, terdapat sebuah sungai yang menyatu dengan kali Bungur.
Seperti di Kalibesar Jakarta Kota, yang oleh Belanda dinamakan Grote Rivier terbelah dua oleh Ciliwung, yaitu Kalibesar Barat dan Kalibesar Timur. Masing-masing bagian dipotong oleh dua parit dan kemudian parit-parit yang terpotong itu, dipotong kembali menjadi kanal-kanal. Yang kini sebagian besar sudah hilang dan berubah fungsi. Bahkan, banyak yang menujadi bagian dari pekarangan rumah. Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa penjajahan. Pantas saja kalau Jakarta selalu banjir bila musim hujan.
Terima kasih pak alwi atas tulisan-tulisannya. Semakin menambah wawasan saya tentang sejarah terutama sejarah Indonesia
Sama-sama semoga menjadi amal ibadah