Siapa bilang Jakarta tak punya menara miring seperti Menara Pisa di Itali –salah satu dari tujuh keajaiban dunia. ‘Menara Miring’ juga ada di Jakarta. Itulah sebutan lain dari untuk Menara Syahbandar di Pasar Ikan, Jakarta Kota, Menara yang terletak di muka Museum Bahari memang miring meski tak setajam menara Pisa yang dibangun tahun 1173.
Menara ‘Miring’ Pasar Ikan dibangun pada 1839 dan pernah berfungsi sebagai pengawasan keluar masuknya barang-barang dari pelabuhan Sunda Kelapa. Belanda menyebutnya ‘Uitkijpost’. Bila menara Pisa sejak awal sudah miring, tidak demikian dengan menara Syahbandar di Pasar Ikan. Menara tiga tingkat setinggi kurang lebih 20 meter (menara Pisa 60 meter), menjadi miring bukan karena kesalahan konstruksi ketika dibangun.
Ia miring karena tidak tahan akibat tekanan dari angkutan raksasa, seperti kontainer dan truk-truk yang tiap hari ratusan keluar masuk pelabuhan Sunda Kelapa. Karena khawatir cagar budaya ini akan lebih miring lagi dan akhirnya runtuh, kini kontainer dan truk-truk yang akan ke pelabuhan Sunda Kelapa dilarang melewatinya. Dari menara ini, kita akan dapat menyaksikan pelabuhan antar pulau Sunda Kelapa yang dipadati oleh ratusan kapal phinisi yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.
Kapal layar ini umumnya membawa kayu dan bahan bangunan untuk kebutuhan kota Jakarta. Kehadiran kapal-kapal phinisi ini menarik perhatian wisatawan asing yang banyak mengunjungi pelabuhan ini. Di depan menara ‘Miring’ terdapat bastion atau benteng Cullemburg plus meriam berusia 3,5 abad. Cullemburg untuk benteng yang dibangun pada 1645 diambil dari nama sebuah kota di Belanda. Kurang lebih 30 meter ke arah Selatan menara ada sebuah jembatan gantung, yang –sejak dibangun VOS pada abad ke-17– sudah berkali-kali ganti nama.
Ketika Ratu Yuliana dan Pangeran Bernard menikah, nama kedua pasangan ini diabadikan nama jembatan tersebut. Bagi warga setempat jembatan ini lebih dikenal sebagai ‘jembatan pasar ayam’. Dinamakan demikian karena tempat ini dulu menjadi pangkalan WTS. Dulu, jembatan dibangun untuk menghubungkan benteng Belanda dan Inggris yang dibatasi oleh kali Ciliwung.
Jembatan ini dibuat menggantung agar dapat diangkat untuk memungkinkan lalu lintas perahu dari arah Selatan. Dan jung-jung Cina yang masuk dari Teluk Jakarta. Kini namanya Jembatan Kota Intan. Mengacu pada nama benteng VOC yang tiap bastionnya memakai nama permata (safir, intan, mirah dan mutiara). Dari kota Intan, yang kini menjadi terminal bus dan mikrolet di Jakarta Kota, sedikit berbelok ke arah kanan terdapat kelurahan Roa (Rue) Malaka. Tempat orang-orang Portugis dari Malaka saat kawasan di Malaysia itu ditaklukkan Belanda pertengahan abad ke-17.
Di kelurahan ini terdapat Kampung Tiang Bendera, yang juga menjadi salah satu nama jalan di Jakarta Kota ini. Menurut riwayat, penamaan diambil dari adanya Kapiten Cina yang tinggal di sini. Di kediamannya itu ia memasang bendera tiap tanggal 1 sampai 10 setiap awal bulan. Ini merupakan pertanda bahwa dalam waktu 10 hari itu, kewajiban para penduduk Cina untuk membayar pajak kepala yang disebut hoofdgeld der Chineezen yang harus dipenuhi.
Kapiten Cina yang mengepalai komunitas etnis ini, juga mengenakan pajak judi, minuman keras dan candu pada masyarakat Cina. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa di daerah selatan kawasan kota, yakni Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada yang dibatasi kali Ciliwung, dulunya merupakan daerah persawahan yang letaknya jauh di luar kota. Setelah sejumlah elit VOC membangun rumah-rumah peristirahan di sini, Belanda banyak membangun kincir angin seperti di negerinya, yang disebut molen. Karenanya daerah ini dinamakan Molenvliet. Beralih ke lapangan Banteng Selatan melewati Hotel Borobudur, terdapat gedung Deplu di Pejambon.
Di tempat ini dan sekitarnya dulu terdapat perkebunan dan pabrik gula. Kemudian menjadi milik seorang bangsawan Jerman yang bergelar Hertog (Duke) sehingga dikenal dengan sebutan Hertogpark (Taman Hertog). Gedung utama Deplu yang kini bernama Gedung Pancasila pada masa Jepang adalah tempat bersidang Dokurit Suzyumbi Tyosakai (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan) Indonesia yang diadakan bulan Mei, Juni dan Juli 1945.
Di zaman Belanda gedung ini dgunakan sebagai gedung Volksraad (Dewan Rakyat) atau parlemen yang diresmikan 1918. Di dekatnya ada kali Pejambon, tempat ditemukannya mayat Nyai Dasima — istri piaran seorang pejabat Hindia Belanda berkebangsaan Inggris, Edward. Ia dibunuh di kali Kwitang, di samping markas Marinir (KKO) sekarang ini, oleh bang Puase. Jagoan Kwitang ini beraksi atas perintah Hayati, istri Samiun yang tak suka dengan polah wanita asal Kuripan (daerah Ciseeng, dekat Parung, Kabupaten Bogor).
Tinggalkan Balasan