Kita menjadi sangat prihatin dengan makin maraknya sentimen dan kerusuhan antar etnis akhir-akhir ini. Khususnya antar penduduk asli dan pendatang di berbagai daerah. Dalam situasi maraknya sentimen antar suku, perlu dipuji sikap orang-orang Betawi. Mereka memiliki toleransi terhadap para pendatang. Boleh dibilang hampir tidak pernah terjadi bentrokan antar penduduk asli dengan pendatang di Jakarta.
Kalau pun terjadi perkelahian paling-paling antar kampung. Tidak punya kaitan kesukuan. Hal ini sedikit banyak tidak dapat dilepaskan dari sejarah warga Betawi. Keberadaan etnis Betawi, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi, jauh lebih lama katimbang namanya. Karena nama Betawi baru populer pada abad ke-19.
Ketika guru Syaikh Junaid al-Betawi, mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. Waktu itu di Arab Saudi nama-nama tokoh agama diberi gelar dari nama kota kelahirannya. Seperti Syeikh Al-Banjari, Al-Minangkabai, Al-Palembangi dan lain-lain. Syaikh Junaid al-Betawi, yang menjadi guru dari para ulama Betawi adalah kakek dari Habib Usman bin Yahya, pengarang ‘Kitab Sifat 20’ yang terkenal hingga saat ini. Karena Habib Abdullah bin Yahya, ayah Habib Usman menikah dengan puteri Syaikh Junaid al-Betawi.
Berkat Syaikh inilah dikenal nama Betawi. Kata yang mungkin berasal dari Batavia, yang entah bagaimana oleh lidah penduduk disebut Betawi. Etnis Betawi sendiri, berdasarkan peninggalan sejarah yang kini disimpan di Museum Sejarah DKI sudah dikenal sejak masa prasejarah. Ketika pelabuhan Sunda Kelapa dibuka pada abad ke-8 sudah didatangi para pedagang dari 36 negara.
Sebagaimana disebutkan oleh sejarawan Jerman, Adolf Heyken, Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih bernama Sunda Kelapa. Orang dengan latar belakang bangsa, bahasa, kebudayaan, warna kulit dan keyakinan agama yang berbeda-beda bertemu sejak berabad-abad di sini. ”Dalam sejarah kota ini mereka semua bergaul tanpa prasangka,” tulis Heyken.
Hal ini lebih dipertegas lagi dari laporan-laporan VOC yang menyebutkan bahwa sejak awal berdirinya Batavia, penduduknya terdiri dari berbagai golongan (etnis) berbeda-beda. Mereka hidup sedikit terpisah menurut adat istiadat masing-masing. Tapi mereka saling bertemu saat mengadakan transaksi perdagangan di pasar-pasar, di tempat-tempat ibadah dan hiburan.
Karena itulah, menurut Ridwan, bagi orang Betawi tidak aneh hidup dan bergaul dengan para pendatang. Karena sejak dulu mereka sudah biasa menghadapi modernisasi dan perbedaan agama. Demikian pula dengan kawin campur, bukan masalah asal berdasarkan satu agama. Dan bagi penilaian Ridwan, yang kelahiran Sawah Besar 60 tahun lalu, Betawi adalah etnis yang paling matang menerima gagasan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu).
Untuk itu sebaiknya kita kita telusuri sejumlah kampung yang penghuninya banyak warga Betawi. Di sini para penduduk asli bergaul akrab dengan pendatang. Seperti di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penduduk asli sudah tidak lagi membedakan antara mereka dengan pendatang. Banyak yang sudah kawin campur. Penjual sate warga Madura, yang banyak tinggal di daerah pinggiran Tanah Abang, tidak pernah bentrok dengan penduduk asli.
Demikian pula dengan etnis Minang, yang kini banyak berdatangan untuk berdagang dan menetap di Tanah Abang. Ketika warga Tanah Abang beberapa waktu lalu ‘mengusir’ Hercules dan para premannya bukanlah karena masalah etnis. Bahkan, mereka membiarkan ketika Hercules dan pengikutnya menguasai daerah hitam, Bongkaran. Karena warga Tanah Abang tidak mau hidup dengan uang haram. Tapi, ketika Hercules membuat ulah terhadap penduduk setempat dan warga merasa harga dirinya dicemarkan, mereka pun tanpa mengenal ampun bertindak.
Akibatnya Hercules dan kawan-kawannya hengkang dari Tanah Abang. Tanah Abang hanyalah salah contoh kecil dari toleransi warga Betawi terhadap para pendatang. Di Pekojan, Jakarta Kota, warga keturunan Cina yang merupakan mayoritas bergaul akrab dengan warga Betawi dan keturunan Arab. H. Irwan Sjafi’ie (70), ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), sampai meragukan kalau ada orang Betawi yang bertindak rasialis terhadap keturunan Cina.
Keraguan, tokoh Betawi yang pernah menjadi lurah selama 24 tahun di tiga kelurahan di Jakarta Selatan, karena sejak dulu antara orang Betawi dan Cina hidup rukun. Lalu Haji Irwan menyebutkan sampai tahun 1950’an dan awal 1960’an di tiap lorong dan tempat di Jakakrta terdapat pedagang Cina. Mereka membuka warung dan berdagang 9 bahan pokok termasuk rempah-rempah.
Masyarakat tidak pernah mempersoalkan kehadiran mereka. Bahkan, kata Irwan banyak nama warung yang kemudian terkenal sebagai nama tempat hingga saat ini. Seperti Jl Warung Buncit, karena Cina pemilik warung di sini perutnya gendut alias buncit. Nama Warung Pedok di Tebet, karena Cina pemilik warung kakinya dengdek (pedok).
Dalam kaitan dengan agama, orang Betawi menurut H. Irwan, tidak akan iri hati terhadap para pendatang yang sukses. Mereka berpegang bahwa rezeki merupakan anugerah dari Allah. Pendatang yang sukses mereka anggap sebagai berkah dari Allah. ”Mereka tidak mau omongin kekayaan para pendatang karena takut melakukan ghibah yang dilarang oleh agama,” ujar H. Irwan.
Contohnya adalah kampung-kampung Betawi yang kini berubah menjadi kawasan elit seperti Kemang, Pondok Indah, Simpruk, Kebagusan, dan Ciganjur. Di sini terdapat rumah-rumah mewah, sementara orang Betawi tinggal di lorong-lorong jalan yang sempit dan kumuh. Sejauh ini hubungan antara penduduk asli dan pendatang tetap baik. Sekalipun, masalah kesenjangan sosial ini tetap harus diperhatikan agar tidak berdampak pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Ridwan Saidi berpendapat sejauh ini orang Betawi tidak merasa kalah bersaing dengan pendatang. Cukup banyak orang Betawi yang berhasil dalam pendidikan dan kaya raya. ”Tidak sedikit pun warga Betawi kehilangan PD-nya menghadapi modernisasi,” ujar Ridwan. ”Bukankah orang Betawi yang paling dulu melihat mobil dan trem listrik,” H Irwan Sjafi’ie menimpali. Menurutnya, sifat orang Betawi yang demikian karena Betawi tidak pernah memiliki raja. Sehingga mereka tidak mau diatur oleh aturan-aturan feodal. ”Kecuali kalau diatur oleh agama,” ujar Irwan.
Tinggalkan Balasan