Tahun depan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) tepat 400 tahun. Kongsi Dagang Hindia Timur dengan sebutan kompeni didirikan Maret 1602 di Negeri Belanda. Suatu pameran dan seminar internasional tengah disiapkan di Jakarta menyambut kehadiran Belanda di Nusantara empat abad lalu. Penyelenggaranya adalah Museum Sejarah, Museum Bahari dan Arsip Nasional bekerjasama dengan Museum Amsterdam. Antara lain akan disorot pengaruh Belanda dalam bidang budaya dan seni di Indonesia. Sementara Perpustakaan Nasional bekerjasama dengan museum-museum di Belanda akan menggelar pameran keliling di berbagai kota Eropa.
Sebelum VOC berdiri, Belanda lebih dulu mengirimkan armada dagangnya ke Banten dipimpin Cornelis de Houtman. Tiba di pelabuhan Karangantu, Banten 23 Juni 1596. Karena sikapnya yang angkuh, mereka tidak mendapatkan sambutan rakyat Banten. Bahkan, Cornelis de Houtman mereka tangkap. Dengan tebusan 45 ribu gulden baru dibebaskan dan diusir dari Banten. Ketika kembali ke Negeri Belanda, rombongan mampir ke Jayakarta.
Mengalami kegagalan di Banten, tidak menyurutkan VOC untuk mengirimkan ekspedisi-ekspedisi berikutnya. Apalagi jalan laut ke Nusantara telah diketahuinya. Untuk itulah didirikan VOC terdiri 17 heren (pemegang saham).
Karena sikap Banten yang tidak bersahabat, VOC memilih bandar Jayakarta untuk markas besar dagangnya yang berada dibawah Banten. Pangeran Jayakarta ingin pelabuhan, yang sebelumnya bernama Sunda Kelapa ini, dapat menandingi dan menyaingi Banten. Yang jauh lebih ramai dan lebih banyak didatangi pedagang mancanegara.
Untuk wujudkan ambisinya, pangeran 10-13 Nopember 1611 menandatangani perjanjian dengan VOC. Singkatnya, VOC pun berhasil memiliki sebuah loji yang kemudian fungsinya berubah menjadi benteng. Loji tersebut kira-kira berada di Jl Tongkol, Jakarta Utara sekarang ini. Letaknya di sebelah selatan rel kereta api, di bawah jalan tol Tanjung Priok – Pluit. Sebab pada abad ke-16, seluruh Pasar Ikan masih berupa laut. Beberapa gudang tua, diantaranya bekas galangan kapal depan menara Syahbandar Pasar Ikan kini jaraknya sekitar 200 meter dari laut. Padahal ketika VOC berada di tepi laut.
Perjanjian dengan VOC ini harus dijual mahal. Karena 30 Mei 1619, gubernur jenderal JP Coen mengusir pangeran Jayakarta, dan mendirikan Batavia. Rupanya, pertentangan antara Jayakarta dan Banten waktu itu seperti pusat dan daerah sekarang ini. Bedanya, ketika itu Banten mewakili pusat dan Jayakarta yang menuntut keuangan lebih banyak, mewakili daerah.
Pemerintahan VOC berlangsung hingga 1799. Ia bubar karena korupsi yang tidak mengenal batas. Jauh sebelum kehancurannya, VOC yang harusnya patut dihormati telah menjadi satu badan yang hampir runtuh karena berbagai penyelewengan. Menjelang pembubaran, hutangnya mencapai 140 juta gulden.
Boleh dikatakan, waktu itu –seperti juga masa orla, orba dan reformasi sekarang ini –, ”Para pejabat VOC tanpa mengenal malu ber-KKN, menilep dan mengentit duit negara. Ketidak senangan masyarakat pada VOC umumnya berpusat pada kaum pengambil keuntungan yang terlampau banyak, yakni para pejabat yang hidup terlalu mewah. Pendeknya, KKN merupakan pelanggaran yang dilakukan hampir semua pejabat VOC.
Yang paling merisaukan, banyak para petinggi VOC berdagang. Tapi uangnya dikentit tidak masuk ke kas negara. Hutan mereka babat, tidak peduli merusak lingkungan. Seperti juga terjadi sekarang ini. Di Batavia, tempat markas besar VOC, hutan-hutan jati yang laku keras di pasaran internasional mereka babat tanpa mengenal ampun dan menyisakan sedikitpun. Padahal, dulu Jakarta kaya dengan kayu jati. Dapat dilihat dari nama-nama kampung seperti Jatibaru, Jatiwaringan, Jatipetamburan, Kramatjati, dan masih banyak lagi.
Begitu mewahnya kehidupan petinggi VOC. Mereka membangun vila-vila dan rumah-rumah besar (landhuis) yang mempekerjakan ratusan budak. Yang kapanpun harus siap meladeni para nyonya besar. Seperti memayunginya, membawakan peralatannya dan berbagai tugas lainnya. Sementara pada santap malam keluarga, diiringi oleh orkes dan tanjidor, peninggalan musik masa lalu yang masih berkembang. Prinsip mereka adalah, jauh-jauh datang ke Nusantara ini dengan menghadapi resiko besar, buat apa jika tidak hidup mewah.
Sejarawan Leonard Blusse, dalam buku ”Persekutuan yang Aneh’ menulis bahwa pameran kekayaan juga terjadi saat kebaktian. Para wanita pergi ke gereja dengan diiringi para budak. Setelah kebaktian selesai, menjadi adat kebiasaan budak-budak untuk bergegas memasuki gereja. Kemudian membantu — nyonya-nyonya gundik — membawa injil, kotak-kotak sirih (tempolong), dan barang-barang lain yang biasa dibawa mereka untuk pamerkan kekayaan masing-masing.
Blusse dalam tulisannya itu lebih jauh mengemukakan: ”Di gereja mereka duduk beratus orang, berbusana bak para ratu. Bahkan mereka yang mengkhotbahkan kerendahan hati pun tak terbebas daripadanya, istri dan anak-anak mereka tampil dalam dandanan berlebihan.”
Tinggalkan Balasan