Sampai kini masih bergulir kemungkinan Presiden Abdurahman mengeluarkan dekrit. Kabar terakhir menyebutkan, ia telah memberikan batas waktu satu minggu kepada DPR/MPR untuk merundingkan materi SI MPR agar tidak sampai keluar dekrit. Syaratnya, agar SI MPR nantinya tidak menyinggung-menyinggung hubungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sejauh ini, mayoritas masyarakat menolak keras dikeluarkan dekrit Presiden, yang oleh banyak pihak dinilai hanya untuk mempertahankan kedudukan Gus Dur. Berlainan dengan situasi ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Waktu itu, Bung Karno mengeluarkan dekrit karena tidak punya pilihan lain. Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, sebelum diminta mundur oleh Gus Dur dari jabatannya menganggap tidak perlu sampai dikeluarkannya dekrit Presiden. Bahkan, ia meminta agar semua pihak wajib menghormati proses politik/demokrasi di DPR. Sebelumnya KSAD dan jajaran ABRI lainnya menolak bila diberlakukannya keadaan darurat militer.
Sejauh ini, hanya massa NU, khususnya dari Jawa Timur, yang hingga kini* menuntut dikeluarkannya dekrit Presiden, bubarkan parlemen dan partai Golkar. Tuntutan ini didukung oleh PRD, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia, Forkot, Pamret dll, yang akhir-akhir ini hubungannya makin ‘mesra’ dengan NU. Tapi tidak demikian dengan NU di daerah-daerah lain, khususnya Jakarta yang sangat menjauhi PRD dan kelompok mahasiswa ‘kiri’ lainnya.
Baiklah, kita kembali ke situasi negara yang menyebabkan Bung Karno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Ketika itu berlaku UUDS sejak 1950. Ketika Bung Karno memberlakaukan dekrit 5 Juli 1959, negara dalam keadaan darurat perang (SOB). SOB diberlakukan sejak 14 Maret 1957. Dikeluarkan atas usul KSAD Mayjen TNI AH Nasution yang disetujui Presiden. SOB diberlakukan hanya beberapa jam setelah jatuhnya kabinet Ali II, kabinet pertama hasil Pemilu 1955. Hasil pemilu dengan parlemen baru yang mewakili 28 partai dibandingkan 20 partai sebelumnya, tidak mengakibatkan membaiknya keadaan. Padahal rakyat berharap melalui Pemilu keadaan negara akan membaik.
Saat berlakunya UUD Sementara, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal atau sistem parlementer. Sistem yang mengakibatkan kabinet jatuh bangun selama belasan kali.
Sementara konstituante (MPR) hasil pemilu pertama, yang mulai bersidang di Bandung pada 10 Nopember 1956, selama hampir tiga tahun gagal menelorkan UU. Bahkan, Konstituante seolah-olah menjadi ajang perdebatan yang bertele-tele, tanpa akhir dan juga tanpa hasil. Sementara pemberontakan di daerah-daerah terjadi. Dimulai dengan diproklamirkannya PRRI di Padang pada 15 Pebruari 1958. Setelah 10 Pebruari 1958 PRRI mengeluarkan ultimatum minta agar kabinet Juanda mengundurkan diri. Kemudian digantikan dengan kabinet Hatta atau Sultan Hamengkubuwono IX. Berlanjut dengan pemberontakan Permesta di Sulawesi. Pada waktu bersamaan masih terjadi gangguan keamanan oleh DI/TII di Jawa Barat dan Ibnu Hajar di Kalimantan. Yang menyebabkan sebagian besar Tanah Air dalam keadaan tidak aman.
Anjuran Presiden Soekarno kembali ke UUD 1945 disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia pada 22 April 1959. Begitu antuasiasnya rakyat menyambut anjuran ini, hingga terjadi petisi dan demo-demo yang menyatakan dukungan di seluruh Tanah Air. Pokoknya selama lebih dari tiga bulan terjadi berbagai demo besar-besaran menuntut kembali ke UUD 45.
Tapi, karena konstituante tidak mencapai kata sepakat untuk kembali ke-UUD 45, maka Bung Karno pun mengeluarkan dekrit. Membubarkan lembaga tertinggi negara itu dan menyataka tidak berlaku lagi UUDS. Dalam kerit dinyatakan bahwa ia dikeluarkan dengan dukungan masyarakat luas dan dalam keadaan terpaksa. Sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi 1945. .
Jauh sebelum mengeluarkan dekritnya, sebenarnya Bung Karno sering mengeluarkan pernyataan untuk kembali ke UUD 45, yang menurutnya, sejak 1950 telah kita khianati.
”Berilah bangsa kita satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapeta.” Ujar Bung Karno yang menyatakan ketidak senangannya terhadap demokrasi liberal. Yang dikemukakan dalam pidato 17 Agustus 1957. Yang ia namakan ‘Tahun Penentuan’ (A Year of Decision). Setahun kemudian (1958) kritiknya makin pedas terhadap demokrasi liberal berdasarkan UUDS. Yang dinilai sebagai demokrasi dengan politik rongrong merongrong, rebut merebut, jegal menjegal dan fitnah memfitnah. Ia menamakan pidatonya itu sebagai ‘Tahun Tantangan’ (A Year of Challenge).
Setelah kembali ke UUD 1945, pidato 17 Agustus 1959 dinamakan: ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’ (The Rediscovery Our Revolution). Yang dikukuhkan MPRS jadi Manipol.
Tinggalkan Balasan