Panglima Besar Pasukan Berani Mati (PBM) KH Nuril Arifin Husein menangis ketika memeluk dr H Abdul Syukur dan H Agus Asenie, ketua dan sekretaris Bamus Betawi. Dengan terbata-bata kiai muda yang selalu berjubah ini meminta maaf pada warga Betawi karena kedatangan kelompoknya telah meresahkan dan menimbulkan kemarahan warga Ibukota. Dengan masih mencucurkan airmata, ia menjamin kedatangan PBM dari Jawa Timur tidak akan membuat keributan seperti yang banyak dikhawatirkan.
“Kami datang untuk istighotsah di Senayan.” Mengenai ilmu kekebalan yang banyak diperagakan oleh PBM, menurutnya biasa saja. Yang juga banyak dimiliki warga Betawi, atau Banten dengan debusnya.
Abdul Syukur, yang selalu berpenampilan tenang menyatakan, para ulama Betawi, khususnya ulama tempo doeloe memiliki sifat kanaah dan tawadhu sesuai ajaran Islam. Mereka di samping guru ngaji, juga memiliki ilmu bela diri (silat) atau maen pukulan. Bagi mereka, ilmu ini sekali-kali tidak boleh digunakan untuk mencelakakan orang. Kecuali untuk bela diri dan melawan penjajah. Ini dibuktikan pada masa revolusi fisik, ketika para ulama ikut maju ke front terdepan melawan Belanda.
Sedangkan Haji Irwan Sjafi’ie, ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menuturkan, warga Betawi kental dengan Islam. Sehingga dalam perbuatan sehari-hari berupaya mencontoh Rasulullah. Mulai dari pakai baju dan celana dengan mendahulukan tangan dan kaki kanan. Pergi dan pulang dengan memberi salam, serta cium tangan pada yang lebih tua. Demikian pula dengan makan dan minum serta mengerjakan sesuatu. Semuanya dimulai dengan bismilah.
Sampai 1940’an, para ulama atau guru ngaji usai mengajar agama menggembleng para murid dengan maen pukulan. Gemblengan dilakukan setelah shalat Isya, atau usai mengaji ba’da Maghrib.
Setelah mereka menamatkan pelajaran mengaji dan bela diri, diadakanlah upacara khatam Alquran. Kepada murid-muridnya yang telah digembleng itu, guru ngaji memberikan petuah dan sejumlah larangan. Di antaranya adalah ilmunya itu tidak boleh digunakan untuk melacur. Mabuk-mabukan dan menyombongkan diri. Dianjurkan agar kepandain maen pukulan digunakan untuk bela diri. Mereka diharuskan melawan bila didholimi. Perlawanan juga dilakukan terhadap penjajah.
Karena itu, bagi warga Betawi, ilmu kebal bukan hal baru. Mereka sendiri banyak yang mempelajarinya. Tapi, lebih banyak ditujukan untuk berserah diri. Sebagaimana dikatakan tokoh Betawi H Irwan Sjafi’ie, “Karena Nabi sendiri dua buah giginya pernah patah dalam suatu peperangan.” Maksudnya, “Kalau Allah menghendaki, bagaiamana pun kebalnya kita, ketubruk capung pun bisa mati,” kata kakek beberapa orang cucu ini. Maksudnya, dengan ilmu kebal itu, kita jangan sampai jadi takabur dan akhirnyua menyimpang dari akidah Islam.
Baik Abdul Syukur maupun Irwan meyakinkan para jago silat Betawi umumnya tahu ilmu kebal. “Tapi, mereka tidak mau menggunakan karena khawatir menjadi sombong. Mereka takut ilmu demikian bisa menggeser akidah Islamiyah mengingat Nabi Muhammad saw sendiri pernah menderita luka-luka dalam peperangan.”
Pada abad ke-19, yang disebut jago Betawi semacam jawara yang menjadi “palang dade” atau penghalang orang yang datang dari luar yang mencoba mengganggu keamanan kampung. Atau ingin ‘mencoba’ kekuatan jago bersangkutan. “Para jago ini tidak pernah menjual, tetapi bersedia membeli bagi yang mau menjual.
” Menurut Bang Irwan, tradisi positif dari para jago adalah tidak agresif, apalagi berbuat kriminal. Yang oleh dr Syukur disebutkan sebagai sifat kanaah dan tawadhu hingga mereka menyanjung dan menghormati para tamu yang datang dengan niat baik.
Khusus menghadapi istighotsah dan Sidang Paripurna DPR, hendaknya kita selalu ingat akan peringatan Allah kalau kamu berpecah belah kamu akan hancur. Serta seruan Nabi Muhammad saw “Kalau kamu menurutkan nafsu setan sekecil apa pun maka setan lah yang akan menang.”
Tinggalkan Balasan