Adolf Heyken (72), penulis sejarah Jakarta, mengangkat jarinya ke atas. Menunjuk ujung paling kiri lantai dua gedung Museum Sejarah DKI di Jl Fatahillah 1, Jakarta Barat. ”Di salah satu ruangan itulah Pangeran Diponegoro pernah dipenjarakan,” ujar warga Jerman yang lebih 40 tahun tinggal di Jakarta. Tapi, ia sendiri tidak tahu dimana letak kamar yang pernah ‘dihuni’ Diponegoro, pada gedung yang pada penjajahan bernama Stadhuis atau Balai Kota. Kepala Museum Sejarah DKI, Tinia Budiati, juga menyatakan hal yang sama.
Sementara sejarawan Belanda, Dr F de Haan menyesalkan kenapa tidak diberitakan samasekali dalam Javasche Courant (Lembaran Negara) dan koran-koran lainnya, peristiwa tibanya Diponegoro di Batavia pada 1830. Akibatnya, kata de Haan, tidak diketahui dengan pasti ruangan tempat ia pernah ditahan.
Kita dapat memaklumi, betapa sakit hatinya Pangeran Diponegoro ketika tiba di gedung lambang kekuasaan kolonial ini. Dia ditahan Belanda melalui tipu muslihat licik. Ditangkap saat berada di meja perundingan di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelah melakukan pemberontakan selama lima tahun. Korban dari pihak Belanda sebanyak 15 ribu orang. Di pihak Diponegoro 30 ribu orang. Korban rakyat jauh lebih besar. Sekitar 180 ribu orang di Jawa meninggal selama perang lima tahun. Kerugian material pihak Belanda 20 juta gulden, jumlah sangat besar kala itu.
Juga terjadi silang pendapat mengenai berapa lama Diponegoro dipenjarakan di stadhuis. Menurut Heyken lima hari. Menurut de Haan sebulan. Tapi yang pasti, Diponegoro sebagai bangsawan diperlakukan lebih terhormat. Tentu saja dibandingkan dengan tawanan lainnya. Mereka dipenjarakan pada bagian bawah gedung ini, di ruang sempit dan gelap. Hingga harus desak-desakan dan penuh penyiksaan luar biasa kejam.
Di lantai dua Balaikota, yang terletak di tengah-tengah pusat kota Batavia –hingga 1809 dikelilingi tembok — terdapat lukisan Raden Saleh bertajuk ‘Penangkapan Diponegoro’ yang ia selesaikan 1858. Berbeda dengan pelukis lainnya yang menggambarkan dari sudut pandang kolonial, Rd Saleh tanpa ragu menunjukkan bagaimana ekspresi Diponegoro sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tempat tahanannya dengan wajah menantang para musuhnya. Termasuk menantang seorang panglima VOC. Itulah karya lukis yang revolusioner dan anti kolonial. Tidak heran kalau lukisan ini baru dibawa kembali oleh Belanda ke Jakarta setelah kemerdekaan RI. Diponegoro, dalam lukisan itu berjubah dan bersurban. Pada ikat pinggangnya teruntai sebuah tasbih. Menunjukkan, keluarga Sultan Mataram ini seorang patriot Islam yang taat.
Di gedung ini terdapat lima ruang penjara bawah tanah. Tingginya hanya satu meter. Hawa sangat pengap karena tidak dimasuki udara. Mereka yang dinyatakan bersalah dan dipenjarakan di sini: ”Karena memberontak terhadap VOC (kesalahan politik). Karena kriminal (membunuh dan merampok), atau menghianati masyarakat Belanda.”
Menurut sejarawan Mona Lahonda dari UI, hampir seluruh kamar tahanan yang sempit itu penuh sesak. Misalnya, pada 1736, dalam satu kamar tahanan — yang lebih kecil dari penjara sekarang ini — berdesakan 64 orang.
Para tahanan itu hanya diberi nasi dan air. Belanda baru berbaik hati dan memberi makan enak, saat tahanan hendak digantung. Sayangnya seringkali para algojo tidak profesional. Karena sering kali tidak sekali tebas kepala terhukum terpisah dari badannya. Menurut Heyken, kekejaman macam ini juga terjadi dipenjara-penjara Eropa waktu itu.
Eksekusi terakhir di gedung ini terjadi 1896, ketika seorang Cina digantung karena karena merampok.
Tinggalkan Balasan