Dia samasekali sudah tidak bisa lagi beranjak dari tempat tidurnya. Di kamarnya yang kecil, di sebuah rumah kontrakan sederhana di kawasan Sawangan, Kabupaten Bogor, ia melewati hari demi hari hanya dengan berbaring. Di kamar inilah ia makan, minum dan buang hajat. Ia telah melewati hidup yang demikian sejak penyakit darah tinggi, paru, jantung, dan berbagai komplikasi menimpanya tujuh tahun lalu.
Sulit untuk membayangkan bahwa nenek yang saya hadapi ini, yang tubuhnya hanya tinggal kulit pembalut tulang ini, adalah istri komponis besar dan pencipta lagu Ismail Marzuki. Yang lagu-lagunya hingga kini masih tetap berkibar, sekali pun ia telah dipanggil Sang Pencipta sejak 25 Mei 1958.
Wanita yang tergolek lemah itu adalah Eulis Zuraidah, yang menjadi sumber inspirasi Ismail Marzuki. Ismail yang pernah dijuluki sebagai Beethoven dari Indonesia. Tidak main-main, julukan ini datang dari para pecintanya di Negeri Belanda, yang konon tiap tanggal 25 Mei selalu mengenangnya dengan memutar lagu-lagu ciptaannya.
Bukan hanya menjadi sumber inspirasi, Eulis bagi komponis kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat, 11 Mei 1914, merupakan buah hatinya. Kecintaannya terhadap istrinya itu, mojang kelahiran desa Ciweday, Bandung Selatan, dicurahkan dalam lagu ciptaannya berbahasa Sunda ”Panon Hideung” (Mata Hitam).
Panon Hideung
Pipi Koneng
Irung Mancung
Euis Bandung
Lagu karya Bang Mail (panggilan akrab Ismail Marzuki), lebih 60 tahun lalu untuk istrinya ini, menunjukkan bagaimana cantiknya Eulis Zuraidah saat muda. Tanda kecantikan itu pun sampai kini masih berbekas. Setidak itu tampak pada sorot matanya yang hitam. Hidungnya yang mancung seperti wanita Timur Tengah, serta badannya yang kuning langsat.
Eulis, yang kini sudah berusia 85 tahun, seperti dikatakan putri angkatnya, yang juga kemenakannya Rachmi Aziah, kini sudah tidak lagi menghiraukan segala penyakitnya itu. ”Ibu sudah tidak mau lagi minum obat. Terpaksa harus dicampur dengan havermut, makanannya sehari-hari.
Kalau dikasih obat, ia akan membuangnya,” kata Rachmi Aziah.
Tahun lalu, ketika saya mendatanginya, istri komponis yang telah mencipta lebih dari 250 lagu ini masih dapat diajak berkomunikasi. Tetapi, pada kunjungan awal pekan lalu di kediamannya, ia samasekali sudah tidak mau diajak bicara. Bahkan, ia samasekali tidak mau lagi berbusana. ”Kalau ada tamu saya terpaksa harus membujuknya agar ibu mau berpakaian,” ujar Rachmi.
”Abdi tos pasrah” (saya sudah pasrah), terdengar keluhnya dalam Sunda. Sekalipun nenek ini, menurut pengakuan putrinya sudah pikun, dan bicaranya sering ngaco, tidak pernah lupa menyebut nama Allah. Saya mendengar sendiri ketika ia menyebut-nyebut Allahu Akbar dan ‘La illaha illalla.’ Kemudian ia pun mengaji, diteruskan dengan menyanyi dan berbicara dalam Belanda.
Boleh dibilang, mojang priangan dalam perjalanan hidupnya cukup menderita. Terutama sejak ditinggalkan suaminya yang wafat dalam usia 44 tahun. Cekikan kesulitan uang menyebabkannya ia menjual rumah — yang menyimpan berbagai kenangan – di Kampung Bali Gang X/36, pada tahun 1965. Ia dengan memboyong Rachmi, terpaksa harus menumpang di rumah adiknya di Kebayoran Baru.
Tapi, ketabahan dalam menghadapi hidup boleh diacungkan jempol. Karena sebagai istri Bang Mail, ia pernah berjualan gado-gado dan asinan. Ini terjadi pada saat revolusi fisik ketika suaminya yang patriotik ini, memilih tidak mau bekerja dengan NICA di Nirom (kini RRI).
Sayangnya, kesulitan demi kesulitan masih terus berlanjut. Bahkan, ia akhir tahun ini terancam tidak memiliki rumah. Ini karena rumah yang dikontraknya di Perumahan Bappenas Blok A-16, Cinangka, Sawangan, sudah akan berakhir. ”Yang empunya tidak mau meneruskan kontrak. Saya sendiri belum terpikir dari mana mendapatkan uang untuk kontrak nanti,” kata Rachmi. ”Apalagi suami saya hanya tukang bikin bingkai,” ujar ibu empat anak ini. Dia mengaku hidup dari hasil hak cipta ayahnya tidak mencukupi. ”Apalagi ongkos pengobatan ibu yang tinggi, dan membayar baby sitter.” Menyedihkan memang, akhir hayat istri seorang komponis besar yang namanya diabadikan untuk pusat kesenian di Jakarta
Yth. Abah Alwi,
Terimakasih atas artikelnya tentang Ny.Ismail Marzuki di atas.
Sungguh saya terharu sekaligus prihatin dengan apa yang sudah Abah Alwi tulis tentang keadaan istri komponis besar kita, alm. Ismail Marzuki.
Saya sangat kagum dengan keindahan karya-karya Bang Mail dengan patriotismenya. Benar-benar beliau adalah seorang komponis besar sekaligus pejuang sejati.
Saya berharap satu hari akan ada Jalan terbuka untuk membantu meringankan beban yang sedang dihadapi Ny. Ismail Marzuki dan Ibu Rachmi.
Apakah Abah Alwi punya nomor telepon Ibu Rachmi?..
walaupun mungkin saya tidak bisa berbuat banyak saat ini, tapi saya benar-benar ingin bisa membantu beliau dengan sekemampuan saya..
Kalau Abah Alwi punya nomor telephone Ibu Rachmi (pihak keluarga alm. Ismail Marzuki), Mohon kabari saya ya…
Saya tunggu balasan dari Abah Alwi….
Sebelumnya saya ucapkan terimakasih ..
Wassalam,
Iman Prabowo
ente tlp aje kantor republika 7803747 mau ketemu abah Alwi.