Menyelusuri Jl Gajah Mada menuju Jakarta Kota kita akan mendapati Jl Alaydrus. Terletak bersebelahan dengan Jl KH Hasyim Asy’ari, Jl Alaydrus kini menjadi pusat pertokoan dan perkantoran, yang didominasi kantor biro-biro perjalanan. Di sini sudah hampir tidak dijumpai lagi rumah-rumah tempat tinggal, seperti masa kolonial Belanda. Ketika itu jalan ini bernama Aladyrus Laan.
Belanda memberikan nama boulevard untuk jalan raya utama. Seperti Oranye Boulevard dan Nassau Boulevard untuk Jl Imam Bonjol dan Jl Diponegoro. Jalan raya kelas satu di pusat kota disebut laan atau straat. Jalan lebih kecil disebut weg, sedangkan jalan kecil atau lorong yang tidak dapat dimasuki mobil disebut gang.
Jl Alaydrus: apa pasalnya sampai jalan ini diberi nama demikian? Jawabnya, karena di tempat ini dulu tinggal Habib Abdullah bin Husein Alaydrus. Bukan hanya itu. Seluruh gedung dan rumah yang ada di jalan ini juga miliknya. Termasuk beberapa buah gedung dan pertokoan di Jl Gajah Mada. Di Jatipetamburan, Jakarta Pusat, Habib memiliki rumah dan tanah seluas 11,5 ha. Memasuki Jl Alaydrus, terdapat beberapa jalan yang pada masa Belanda namanya Husein Laan dan Ismail Laan. Nama kedua putra Habib Abdullah.
Seperti dituturkan oleh menantunya Habib Abubakar Alaydrus (90 tahun), mertuanya (Habib Abdullah bin Husein Alaydrus), memiliki 80 buah gedung di Jl Alaydrus dan 25 buah gedung di Jl Gajah Mada. Dari gedung-gedung dan tanah yang disewakan ini, Habib Abdullah mendapatkan penghasilan 12 ribu gulden tiap bulan. Waktu itu, harga beras paling mahal hanya tujuh setengah gulden per karung (100 kg).
Untuk memperlancar tagihan sewa menyewa rumah dan gedung, ia mendirikan Bouwmatchappij Abdullah bin Husein Alaydrus. Orientalis Belanda LWC van der Berg yang mengadakan penelitian orang-orang Hadramaut di Nusantara (1884-1886) menyebutkan, di Batavia hanya empat orang Arab yang penghasilannya di atas 12 ribu gulden per tahun. Habib Abdullah juga dikenal dermawan. Ketika perang Aceh, pada akhir abad ke-19, ia banyak membantu perjuangan para pahlawan dari Tanah Rencong ini dalam melawan Belanda.
Dengan cara mengirimkan senjata-senjata yang diselundupkannya dari Singapura. Agar tidak dicurigai Belanda, kapal yang membawa senjata ini ditutupi dengan sayur-mayur. Dia juga dikenal sebagai orang pro-Turki ketika masih dipimpin Ottoman. Tidak heran saat pecah perang dunia pertama, ia banyak memberikan bantuan uang pada Turki. Karena keterlibatannya itu, pihak Inggris –yang menjadi lawan utama Turki dan Jerman– ingin menangkap Habib Abdullah. Guna menghindari kejaran Inggris, ia melarikan diri ke Sumatera.
Ia baru bisa kembali ke Jakarta setelah diselundupkan di sebuah perahu. Ia juga banyak memberikan bantuan untuk memajukan Jamiatul Kheir, pendidikan Islam modern pertama di Jakarta yang didirikan pada 1901. Ketika diminta bantuannya, ia menyuruh orang mengambil sendiri dari lacinya. Bantuan itu, besarnya 2.100 gulden. Jumlah yang sangat besar ketika itu. Mr Hamid Algadri dalam buku ‘Islam dan Keturunan Arab’ menyebut Abdullah bin Husein Alaydrus selalu duduk di meja direktur dalam rapat-rapat Syarikat Islam di Jakarta sekitar 1915.
Sedangkan sejarawan Jerman, Adolf Heuken yang banyak menulis tentang Jakarta menyebutkan bahwa sayid ini banyak membantu perluasan masjid tua ‘An-Nawir’ di Pekojan, Jakarta Barat. Menurut menantunya, Habib Abubakar, Allaydrus meninggal dunia pada 1936 dalam usia lebih 80 tahun. Kekayaannya mulai berkurang ketika terjadi resesi ekonomi yang hebat pada tahun 1930-an (malaise). Karena banyak rumah yang kosong ditinggalkan penyewa, hingga ia tidak bisa membayar bank, akibatnya, Bouwmatchappij Alaydrus diambil oleh Bank Nilmij.
Utang itu pun dicicil hingga perang dunia kedua. Ketika Belanda takluk pada Jepang, Nilmij beralih lagi kepada Allaydrus. Pihak Jepang mengharuskan agar seluruh utangnya sebesar 700 ribu gulden dibayar. Maka para ahli waris pun mufakat sebagian dari rumah dan gedung dijual pada orang India untuk membayar utang kepada Jepang.
Tapi setelah Jepang takluk, maka Nilmij pun berkuasa kembali. Nilai penjualan pada masa Jepang oleh Nilmij hanya ditetapkan sebesar tiga sen per gulden (100 sen). Para ahli waris terpaksa menjual rumah dan kebun untuk menutupinya. Kini para ahli waris Habib Abdullah bin Husein Alaydrus berpencar ke berbagai tempat, setel
User Online : 1 | ©Copyright 2007 Version by MIS Div PT Republika
REPUBLIKA – Minggu, 30 September 2001
semoga amal ibadahnya alhabib Abdullah bin husein Alaydrus di terima ALLAH…dn smoga kami sbg para pewarisnya dpt mneruskan perjuangannya dlm mmajukan pendidikan dn kedermawanan beliau,dn kembali membawa kejayaan dlm hal perdagangannya…amiinnn….