Kali Angke yang melewati Jakarta Kota diberitakan mengalami polusi berat. Akibat segala macam sampah, limbah pabrik dan industri yang tumplek hingga membebani kali Angke. Kali ini merupakan satu saksi sejarah terhadap peristiwa paling menyedihkan dan mungkin paling menyeramkan di Jakarta.
Ketika itu, Oktober 1740, Belanda melakukan pembantaian terhadap 10 ribu orang Cina di Glodok. Konon, sungai yang kala itu masih jernih berubah menjadi merah karena darah. Banyak mayat yang digelimpangkan di sungai ini. Menurut bahasa Hokian, kata Ang berarti merah dan ke sungai atau kali. Jadi Angke adalah ‘Kali Merah’. Seperti kata angpau yang berarti amplop merah.
Dalam peristiwa kerusuhan ini, anak-anak, wanita dan para manula tanpa ampun telah ikut dibantai secara kejam, termasuk para pasien di rumah sakit. Seluruh milik orang Cina dibakar atau dijarah oleh VOC yang juga mengajak penduduk setempat. Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier (1695-1751), yang bertanggung jawab terhadap peristiwa ini, kemudian diadili di Belanda. Seperti juga pengadilan PBB terhadap mantan presiden Yugoslavia, Slobadan Milosevic di negeri yang sama. Milosevic, oleh pengadilan internasional dituduh sebagai jagal yang harus bertanggungjawab atas pembunuhan ribuan Muslim Bosnia dan Albania.
Di sepanjang kali Angke, terdapat beberapa jembatan. Ada jembatan kambing di Pekojan. Dinamakan demikian karena kambing-kambing yang akan dipotong melewatinya ketika menuju ke rumah pemotongan hewan (RPH). Maklum, penduduk Pekojan waktu itu didominasi keturunan dari Hadramaut. Rasanya kurang afdol bila makan tanpa daging kambing.
Berdekatan dengan Kali Angke, terdapat Jalan Bandengan Utara dan Jalan Bandengan Selatan. Ditengahnya terdapat Kali Bandengan. Dulunya merupakan kanal yang dalam Belanda disebut gracht. Waktu itu, kedua jalan ini bernama Amanusgracht Noord (Bandengan Utara) dan Amanusgracht Zuid (Bandengan Selatan). Tidak diketahui apakah nama ‘bandengan’ punya kaitan dengan ikan bandeng. Ikan paling mahal waktu itu.
Yang pasti, bagi etnis Cina tempo doeloe, apabila pada cap go meh (pesta malam ke-15 setelah tahun baru Imlek), calon menantu tidak datang mengantar bandeng, bisa runyam. Menantu macam begini tidak punya liangsim (malu) dan tidak menaruh hormat pada mertoku (mertua). Bisa-bisa asmaranya putus ditengah jalan.
Rupanya banyak pengaruh bahasa Belanda terhadap nama jalan maupun tempat di Jakarta. Seperti di dekat pusat perdagangan Glodok terdapat Jl Pinangsia. Konon, jalan yang selalu ramai ini berasal dari kata Financien. Yang dalam Belanda artinya keuangan. Ada yang mengatakan ditempat ini pernah terdapat department van financien atau departemen keuangan. Kata financien oleh lidah Betawi menjadi Pinangsia.
Kearah utara dari pertokoan Harco di Glodok, terdapat stasiun kereta api Jakarta Kota. Orang-orang tua hingga kini lebih mengenal sebagai stasion Beos. Beos kata singkatan dari Belanda, entah apa artinya. Stasiun ini dibangun 1928 dan usai 1929. Stasiun ini untuk jalur kereta api Batavia – Buitenzorg (Bogor), setelah beroperasinya kereta api pada 1873. Arsitek pembangunannya adalah Ir Johan Ghijsels (1882-1947), warga Belanda lahir di Tulungagung, Jatim. Ia juga mengarsiteki pembangunan gedung yang kini ditempati Bappenas di Jl Imam Bonjol, gedung KPM (kini Ditjen Perla di Merdeka Timur), RS KPM (kini RS Pelni) di Jatipetamburan.
Di depan stasiun KA Jakarta Kota, terdapat gedung Diklat Bank Indonesia. Dulunya gedung ‘De Javasche Bank’, yang sejak 1953 ganti nama jadi Bank Indonesia (BI). ‘De Javaasche Bank’ didirikan 1828. Tapi, ketika itu nasabahnya kebanyakan orang Belanda dan Cina. Mungkin takut dianggap riba, orang waktu itu lebih senang menyimpan uang ‘dibantal’. Apalagi hampir seluruh penduduk masih BH (butahuruf). Tapi, yang pasti, kurs gulden yang menjadi mata uang waktu itu nilainya sangat stabil. Tidak goncang-gancing seperti sekarang yang bikin BI pontang-panting untuk menstabilkan rupiah, yang tidak juga berhasil.
Gedung ‘De Javasche Bank’ sebelumnya merupakan rumah sakit militer. Sedangkan didekatnya terdapat sebuah rumah sakit yang dibangun orang Cina. Di rumah sakit inilah, para pasien ikut dibantai pada peristiwa Oktober 1740. Kemudian orang Cina mendirikan RS Jang Seng Ie di Manggabesar. Setelah kemerdekaan, ganti nama jadi RS Husada hingga kini.
REPUBLIKA – Minggu, 08 Juli 2001
Tinggalkan Balasan