Meluasnya kemiskinan dan naiknya harga-harga tidak menghalangi ribuan muda-mudi untuk menonton konser musik F-Si (4) dari Taiwan. Muda-mudi histeris ini rela membayar Rp300 ribu sampai Rp2 juta guna melihat wajah empat personel F-4 yang sebenarnya juga banyak berseliweran di Glodok. Hiburan dengan mendatangkan artis-artis dari mancanegara kini makin kerap di ibu kota.
Yang terjadi sekarang bertolak belakang dengan 1950-an saat belum ada televisi. Di masa demokrasi liberal itu, bioskop merupakan satu-satunya hiburan. Industri film sendiri baru berkembang di Batavia awal abad ke-20. Mula-mula hanya memutar film tanpa suara atau ”film gagu”, istilah Betawi. Bioskop saat itu Gloria dan Orion di Glodok. Di Weltevreden ada Globe (Pasar Baru), Deca Park (Monas, depan Departemen Dalam Negeri), dan di lokasi TIM sekarang Dierentuin.
Pada 1930-an saat mulainya film suara (sound film) makin banyak bioskop bermunculan, seperti Capitol (depan Masjid Istiqlal), Grand, Rex, dan Rialto di kawasan Senen, Cinema di Pintu Besi, Alhambra di Sawah Besar, Thalia dan Orion di Jakarta Kota. Awal 1950-an setelah kemerdekaan banyak muncul bioskop baru, seperti Metropole (1952), Menteng (1953) yang kini jadi plaza, Cathay Theatre (1956) di Jl Gunung Sahari (kini perkantoran). Metropole dan Cathay kala itu punya arsitektur indah. Di sekitarnya dibangun pertokoan, khususnya Metropole di bagian atasnya terdapat restoran yang cukup megah.
Pada 1950-an para produser film AS mendirikan perwakilan di Jakarta. Kemudian, mereka pun bergabung, seperti MGM, Warner Brothers, Paramount, Universal, 20th Fox, United Artist, dan Rank Organisation. Kala itu, bioskop di Jakarta umumnya memutar film AS. Film-film Malaya (kini Malaysia) dan India baru muncul kemudian, sedangkan film Indonesia bisa dihitung dengan jari. Film Indonesia diputar hanya di bioskop-bioskop kelas bawah.
Sementara itu, untuk melancarkan distribusi bioskop-bioskop bergabung dalam kelompok. Karena copy film terbatas, selesai satu gulungan film di satu bioskop harus cepat-cepat diberikan ke bioskop kelompoknya yang memutar film sama. Bila di Capitol (Pintu Air) pertunjukan pertama pukul 14.00, kelompoknya di Garden Hall (Cikini) main pukul 15.00 WIB, mengingat kala itu, distribusi film dari satu gedung bioskop ke gedung bioskop lainnya dibawa dengan sepeda.
Harga tiket berdasarkan pengalaman penulis tahun 1955 bervariasi. Untuk bioskop kelas satu, dibagi dalam beberapa kelas, seperti harga tiket loge dan balkon empat perak, stalles (kelas II) dua perak, dan kelas III seperak. Yang terakhir ini letak bangkunya paling depan, diejek sebagai kelas kambing. Tiket untuk bioskop rakyat, seperti loge/balkon seringgit, stalles seperak 15 sen (Rp1,15), kelas III 50 sen.
Sulitnya mendapatkan karcis, lebih-lebih bila filmnya rame, telah melahirkan tukang-tukang catut, mulai ada oknum-oknum ABRI yang diperalat dan bekerja sama dengan para pencatut. Kala itu, disediakan loket khusus untuk ABRI. Dalam kerja sama ini oknum ABRI suka memborong tiket. Kala itu, sering CPM dan juga polisi yang kala itu disebut perintis mengadakan razia di bioskop-bioskop.
Waktu pertunjukan umumnya tiga kali. Pertunjukan pertama pukul 14.00 dan 14.30, kedua pukul 18.30 dan 19.00, dan pertunjukan terakhir pukul 23.00 dan 23.30 WIB. Semua dalam waktu Jawa yang dikurangi 30 menit dari WIB. Sebagai contoh, kalau sekarang pukul 10.00 WIB maka waktu Jawa adalah pukul 9.30. Waktu itu, tempat parkir di bioskop dipenuhi oleh sepeda. Parkir sepeda motor umumnya kelas menengah ke atas, sedangkan mobil masih jarang.
Keamanan kala itu cukup baik. Jarang terjadi pencurian atau perampokan mobil maupun motor. Paling-paling pencurian sepeda. Itu pun kalau tidak dikunci. Bila dikunci paling-paling yang dicuri berko (lampu) sepeda, sedangkan mobil yang dicuri paling-paling hanya dop atau velg-nya. Kala itu, pencuri dan perampok tidak secanggih sekarang. Mereka belum mengenal kunci huruf ‘T’ yang digunakan para perampas dan perampok motor saat ini.
REPUBLIKA – Rabu, 15 Januari 2003
Tinggalkan Balasan