Dalam peta Batavia tahun 1887, kota ini sudah berkembang ke arah selatan. Tidak lagi kota berbenteng seperti saat dibangun jenderal JP Coen (Mei 1619). Dalam peta 114 tahun lalu itu, banyak nama jalan dan tempat masih berbahasa Belanda. Beberapa kampung kini sudah hilang karena berganti nama atau dibangun proyek.
Nama jalan dan tempat dalam Belanda terbanyak di kota tua, sekitar Glodok dan Pasar Ikan. Sreperti Jl Kopi yang menuju Pasar Ikan, dulu, bernama Utrechtsche Straat. Jl Tongkol, depan Museum Bahari Pasar Ikan, dulunya bernama Prinsenstraat. Sebelum Gubernur Jenderal Daendels menghancurkan kota lama awal abad ke-19 dan kemudian hijrah ke Weltevreden (sekitar Gambir dan Lapangan Banteng), Prinsetraat kawasan paling bergengsi. Dengan rumah-rumah tertata rapi di tepi Kali Opak anak dari Ciliwung yang dulu jernih dan dua kali lebar sekarang.
Sebelum Jepang (1942), di selatan Jl Tongkol terdapat The Amsterdam Poort atau pintu gerbang Amsterdam. Ia adalah salah satu peninggalan VOC yang selamat dari penghancuran Daendels. Pintu gerbang ini merupakan jalan penghubung antara pusat kota waktu itu dengan daerah ‘pedalaman’. Kita dapat menyaksikan replika dari pintu gerbang ini di Kafe Batavia, Pasar Ikan.
Pintu Besar kala itu bernama Nieuwpoort Straat. Ada Oost Nieuwpoort Straat (Pintu Besar Timur), Binnen Nieuwport Straat (Pintu Besar Utara), Binnen Niuwport West (Barat) dan Zuid Nieuwport Straat (Pintu Besar Selatan). Di selatannya terdapat Pintu Kecil yang dikenal dengan sebutan Diestpoort, arti pintu kecil dalam Belanda. Antara Pintu Kecil dan Pancoran, terdapat Jl Toko Tiga. Di sini terdapat Kali Krukut yang dulu sangat penting bagi transportasi barang dan kebutuhan pokok dari pedalaman ke Batavia.
Sejak empat abad lalu, di kawasan Pintu Kecil Glodok ini, para tauke sudah sangat berperan dalam hampir semua aspek perdagangan, distribusi, dan pertanian di Batavia. Rumah-rumah tua bergaya Cina masih banyak terdapat di sini. Sayangnya, rumah-rumah yang dilindungi keberadaannya sebagai cagar sejarah, ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, banyak yang dibakar dan dirusak.
Waktu itu, Belanda banyak membangun pos jaga di Batavia. Di antaranya di gedung BTN Harmoni. Ketika pos jaga ini didirikan banyak monyet. Maka muncullah nama Jaga Monyet. Sekarang jadi Jl Suryopranoto. Pada pendudukan Jepang di Jaga Monyet terdapat markas Pembela Tanah Air (Peta). Ketika Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, pasukan ini turut mengawal. Mereka berbaris menuju Jl Pegangsaan Timur, rumah kediaman Bung Karno yang jaraknya sekitar 5 km.
Jalan Budikemulian, yang bagian mukanya diapit gedung BI dan gedung pencakar langit Postel dekat Monas, dulu bernama Gang Scoot. Bersama dengan Koningsplein (Medan Merdeka), Parapatan, dan Tamarindelaan (Asem Lama – Jl Wahid Hasyim), dan Kebon Sirih merupakan daerah elite Eropa, sebelum dibangun Menteng pada 1920. Menjelang akhir abad ke-19, banyak modal asing dari Eropa ke Indonesia. Jumlah warga Eropa di Batavia selama 9 tahun naik dua kali lipat. Dari 6.253 orang (1866) menjadi 12.429 orang pada 1875. Para elite ini umumnya tinggal di rumah-rumah besar, dilengkapi pavilion dan halaman luas.
Dalam peta 1887 terlihat nama-nama kampung yang kini sebagian sudah hilang. Seperti Kebon Jahe (ditulis Kebon Djae). Sebagian tergusur untuk jalan arteri Tanah Abang – Tomang. Kampung Jagal di Senen, yang hilang, sejak dibangun Proyek Senen dan Atrium. Di dekatnya terdapat Kampung Tanah Nyonya yang terletak antara Bungur dan Kemayoran. Sekalipun Kemayoran sudah terdapat dalam peta, tapi masih merupakan rawa-rawa. Karena lapangan terbang Kemayoran baru dibangun 1935.
Di Jakarta kala itu ada Kampung Jepang. Letaknya di Palmerah, Jakarta Barat. Karena di sini terdapat landhuis (rumah peristirahatan luar kota) milik warga Jepang. Gedung yang berusia ratusan tahun dan menjadi saksi sejarah Ibukota, sejak 1980-an sudah almarhum. Tidak peduli, banyaknya sejarawan yang memprotes saat pembongkarannya.
Dulu di Jakarta terdapat nama jalan dan tempat yang dimulai dengan kata Pal. Seperti Palmerah, Palputih, Palmeriem, dan Pal Busuk. Pal, terbuat dari batu cor dengan ketinggian satu meter di atas tanah. Bentuknya agak gepeng dan tampak berkilauan menyerupai batu giok. Pal dibuat Belanda dan berfungsi sebagai patok sebagai batas wilayah kota Batavia. Batas-batas kota ini ditarik dari Gedung Kesenian di Pasar Baru. Kini batu-batu pal itu sudah tidak ketahuan lagi rimbanya, yang ada tinggal nama wilayahnya.
REPUBLIKA – Minggu, 25 Nopember 2001
Tinggalkan Balasan