Menjelang dan awal 1930-an terjadi resesi ekonomi di dunia. Dikenal dengan sebutan zaman malaise. Oleh para pejuang kemerdekaan dipelesetkan menjadi zaman ‘meleset’. Seperti juga sekarang, krisis ekonomi dunia ini dampaknya sangat terasa di Hindia Belanda, termasuk Batavia. Ekspor hasil bumi menurun drastis menjadi separuhnya, ribuan buruh menganggur karena di-PHK.
Entah secara kebetulan, dalam situasi suram ini, ada yang punya ide cemerlang untuk mengimpor becak. Maksudnya untuk mengurangi penganggur. Becak didatangkan dari Singapura dan Hongkong. Tidak diketahui apakah ketika itu bentuknya sudah seperti sekarang. Karena di kedua koloni Inggris, umumnya becak beroda dua (riksaw) ditarik oleh manusia di depannya sambil berlari. Tidak dijelaskan banyaknya impor becak. Diperkirakan tidak banyak. Karena, setelah beroperasi selama 10 tahun di Batavia, menjelang perang dunia ke-II, jumlahnya tidak lebih 100 buah. Kala itu, belum banyak orang yang ngendom (datang) di Jakarta untuk menjadi penarik becak. Sementara warga sendiri lebih senang naik delman atau sado, dua jenis kendaraan berkuda.
Pada masa pendudukan militer Jepang, di Jakarta, angkutan rakyat masih didominasi delman dan sado. Jepang yang disibukkan oleh peperangan melawan Sekutu lebih banyak mengharuskan para pemuda menjadi seinendan (Barisan Pemuda), keibodan (Barisan Keamanan), Heiho dan Pembela Tanah Air (PETA). Jutaan tenaga muda ini dimobilisasi untuk membantu balatentara Nippon mempertahankan ‘Asia Timur Raya’. Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1950-an, tiba-tiba saja jumlah becak bertambah secara drastis. Waktu itu, terjadi pengungsian besar-besan dari Jawa Barat dan sebagian daerah di Jawa Tengah, bergolak akibat pemberontakan DI/TII. Jumlah becak pun melonjak pesat, menjadi 25 ribu sampai 30 ribu buah pada akhir 1950-an. Pemilik becak umumnya para tauke, yang sekaligus membuka bengkel becak di kediamannya.
Ketika itu, Jakarta seolah-olah menjadi ‘sorga’ bagi penarik becak. Mereka bebas beroperasi tanpa ada pembatasan. Waktu itu, hal biasa bila penarik becak menunggu penumpang di depan hotel-hotel berbintang, seperti HI, Hotel des Indes, Hotel Der Nederlanden. Bersamaan dengan kebebasan beroperasi ini, sudah ada pemikiran untuk membatasi operasi becak. Karena becak bukan saja memacetkan lalu lintas, tapi pengemudinya main serobot, tidak peduli lampu merah.
Waktu itu, Jakarta dikenal sebagai kota becak di dunia. Ketika Bung Karno pada 1956 berkunjung ke Amerika Serikat, presiden RI pertama ini mendatangi Hollywood. Konon, Jeans Simmon, artis terkenal kala itu menyatakan pada Bung Karno keinginannya ke Jakarta. “Saya pengen sekali naik becak.” Begitulah kira-kira kata artis yang membintangi film Ivanhu. Bung Karno sendiri tidak begitu senang terhadap pernyataan artis cantik ini. Ia menganggap profesi penarik becak tidak manusiawi. Bentuk riil dari pengisapan manusia atas manusia (exploitation de’lhome par e’lhome), kata-kata yang sering diucapkan waktu itu.
Pembatasan dan operasi penertiban becak baru dilakukan pada masa Gubernur Ali Sadikin. Pada awal 1970, jumlah becak di Jakarta sudah mencapai antara 100 ribu hingga 150 ribu buah. Dengan jumlah penariknya sebesar 350 ribu orang, atau sekitar 10 persen dari penduduk Jakarta.
Sekalipun menghadapi berbagai kritik, Ali Sadikin sebagai gubernur yang tegas dan berani mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi operasi becak. Termasuk keharusan memiliki rebewes. Bang Ali yang bertekad untuk ‘menghabisi’ becak di Jakarta juga mempersempit ruang lingkup mereka. Seperti pembatasan daerah dan waktu operasi. Dengan membaginya dalam rayon-rayon.
Tindakan Bang Ali ini kemudian dilanjutkan oleh para penggantinya. Waktu itu merupakan pemandangan biasa di Ibukota bila aparat menggaruk ratusan becak dinaikkan ke truk-truk. Kemudian becak-becak itu dibuang ke laut dijadikan sebagai tempat hidup ikan. Kini pun becak-becak yang terjaring di buang ke laut untuk di rumponkan di Muara Karang. Tapi, pertarungan antara Gubernur Sutiyoso dan Wardah Hafidz masih terus berlanjut. Wardah represantasi perjuangan para abang becak, dan Sutiyoso representasi dari penguasa yang mencari angin. Karena maraknya becak sekarang yang mengundang Sutiyoso.
REPUBLIKA – Minggu, 26 Agustus 2001
Tinggalkan Balasan