Dengan menggunakan peta 1650, saya mencoba kembali menjelajahi kota tua Pasar Ikan, Jakarta Utara. Sudah tidak ada lagi nama-nama jalan atau tempat yang menggunakan bahasa Belanda seperti tertera dalam peta itu. Tidak diketahui lagi letak Tijgergrach, yang menurut peta 350 tahun lalu itu merupakan bagian kota paling indah. Dulu, di sini terdapat parit lurus memanjang dengan belasan gedung indah. Di kiri kanannya dipagari tanaman hidup, mirip kota di Holland. Masih didapati sisa-sisa istana atau benteng, tempat Jan Pieterszoon Coen dan VOC-nya mengatur strategi untuk menguasai Nusantara.
Untuk mencapainya, kita harus mau sedikit bersusah payah, menaiki tangga bambu dari perumahan kumuh. Memang, kota lama Batavia telah diratakan dengan tanah pada akhir abad ke-19 oleh Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels. Alasannya, kawasan ini menjadi sarang penyakit. Para penduduk, terutama orang Eropa, pindah ke arah selatan. Berdasarkan catatan 1632, orang Cina merupakan penduduk paling besar di antara penduduk sipil merdeka. Dia hanya sedikit diungguli oleh para budak belian yang banyak didatangkan dari Malabar dan Srilangka. Di sini, oleh Belanda, pribumi dilarang bertempat tinggal dekat benteng, karena dicurigai akan membantu Banten dan Mataram.
Ketika membangun Batavia pada 1619, Coen banyak mendatangkan orang Cina dari Banten. Kian pekan, jumlah orang Cina makin banyak. Menurut Leonard Blusse, jumlah ini erat kaitannya dengan pasang-surut perekonomian kota karena pajak perorangan dibebankan pada mereka. Manakala terjadi kemerosotan mendadak dalam perdagangan jung-jung dari Cina — yang merupakan sumber pendapatan pokok — berduyun-duyun orang Cina meninggalkan Batavia menuju Banten atau Mataram. Di kedua kerajaan ini, orang-orang Cina tidak diharuskan membayar pajak perorangan.
Atas permintaan kapiten Cina pada 1648, Gubernur Jenderal Van der Lijn menurunkan pajak perorangan sampai 0,5 real, ketika ternyata bulan Agustus tahun itu hanya 1.355 orang yang membayar pajak ini. Tapi, setelah diturunkan, mereka banyak yang kembali ke Batavia. Hingga pada Desember 1648 tercatat 3.077 orang Cina yang membayar pajak itu tinggal Batavia. Tak dapat dipungkiri, peran orang Cina sangat besar dalam pembangunan Batavia. Pekerjaan-pekerjaan bangunan penting, seperti penggalian saluran pembangunan tembok kota dan gedung-gedung semua dikontrakkan dan dilaksanakan oleh kontraktor-kontraktor Cina.
Gedung-gedung abad ke-17 dan 18, yang kini sedikit masih tersisa jelas menunjukkan adanya pengaruh Cina. Belanda sendiri, yang di awal-awal penjajahan belum berpengalaman dalam mendekati pihak pribumi, menggunakan perantaraan (semacam duta) orang Cina dalam perundingan dengan Banten dan Mataram.
Menurut Blusse, pada 1620, orang Cina dibebaskan dari tugas mengangkut tanah untuk tembok kota, mengingat mereka telah membayar pajak kepala satu setengah real setiap bulan. Ini berarti, mereka membayar lima kali lebih banyak dari penduduk lain dalam hal pembiayaan Batavia. Sedangkan untuk pembangunan Balaikota atau stadhuis, mereka membayar tiga kali lebih besar. Gubernur Jenderal Brouwer pada 1633 menyatakan, dalam segala hal penduduk Cina lebih unggul dari orang Belanda sendiri. Pada 1644, orang-orang Cina mengontrak 17 dari 21 macam pajak yang dipungut, seperti pajak perjudian, pasar malam, pasar, ekspor impor, dan pertunjukan wayang orang.
Pelelangan pengutipan pajak ini dilangsungkan ditempat kediaman kapiten Cina. Tentu saja pemenangnya adalah mereka yang paling berduit. Melihat perlakuan istimewa ini, tidak heran jika di kalangan burgerij (orang Belanda di luar VOC), pernah melakukan gugatan ke pengadilan di negaranya. Menurut mereka, dalam bidang perdagangan, orang Cina lebih diuntungkan. Apalagi perdagangan laut mereka makin dipersempit dengan adanya monopoli oleh kompeni.
Orang Belanda, termasuk dalam satuan VOC merasa takjub terhadap kegigihan orang Cina dalam mengumpulkan uang. Karena, dalam waktu sebentar, banyak para pendatang itu yang telah kaya-raya. JP Coen sendiri dalam suratnya kepada Heeren Seventien (17 pemegang saham VOC) menyatakan : “untuk membangun imperium di belahan Timur dengan pusat kekuasaan di Batavia, tidak ada bangsa lain yang dapat melayani kita lebih baik daripada orang Cina.”
Pujian Coen ini, menurut Dr Mona Lohanda (dosen luar biasa Fakultas Sastra UI), bukan berarti orang Cina menjadi ‘anak emas kompeni’. Sebab yang dimaksudkan di sini adalah mereka akan dipekerjakan di berbagai bidang pembangunan. Mulai dari kerja membangun gedung perkantoran, rumah mewah pejabat Belanda, berniaga, mengelola pertanian, persawahan dan perkebunan.
REPUBLIKA – Minggu, 16 September 2001
Tinggalkan Balasan