Film dan lagu dari tanah Hindustan kini makin merajai Indonesia. Tidak heran kalau pihak distributor film mengaku berhasil menjual ratusan ribu keping VCD-nya. Itu belum termasuk yang dibajak, yang pasti jauh lebih besar. Sejauh ini tercatat tiga film India yang meledak di pasaran; Kuch Kuch Huta Hai (KKHH), Mohabatein, dan Kabhi Kushi Kabhi Gam (K3G).
Mungkin banyak yang tidak tahu, film India yang ditayangkan hampir setiap waktu di berbagai stasion televisi pernah diprotes dan diboikot di Indonesia. Lebih jelasnya, kita sejenak kembali ke tahun 1950’an. Seperti dituturkan Kepala Sinematek Indonesia SM Ardan (71 tahun), kala itu film Malaya (kini Malaysia) laku keras di bioskop-bioskop. Pasangan P Ramlee dan Kasma Booty, digandrungi muda-mudi. Lagu-lagu keduanya menjadi hits. Sekalipun film Indonesia meniru gaya film Melayu dengan memasukkan unsur nyanyi, tapi tetap kalah bersaing. Persaingan makin sengit karena produk kedua negara dipasarkan di kalangan kelas menengah ke bawah.
Lalu terjadilah protes bertubi-tubi dari kalangan perfilman Indonesia, baik produser maupun para pemain. Mereka meminta agar film Malaysia dilarang beredar di Indonesia, atau dibatasi. Protes dikabulkan. Film Malaysia tidak masuk ke Indonesia, dan perfilman nasional bisa bernafas kembali.
Tiba-tiba muncul film India. SM Ardan mengatakan semula film India tidak dianggap sebagai saingan film Indonesia. Alasannya, kala itu film India belum di-dubbing bahasa Indonesia, hanya diberi teks. Persari Film milik Djamaluddin Malik ayah Camelia Malik ikut-ikutan mengimpor film India.
Perkiraan ini keliru. Film-film dari negeri Sungai Gangga sangat digemari, tidak kalah dari film Melayu. Film India yang berdurasi sekitar tiga jam digandrungi karena jalan ceritanya romantis. Seperti seorang pemuda miskin yang jatuh cinta pada wanita kaya raya, dan berakhir dengan kebahagiaan. Atau wanita miskin berkasta rendah menikah pemuda kaya raya dari kasta terhormat. Ardan melihat, cerita semacam ini digandrungi bukan hanya di India, tapi juga penonton Indonesia. Ditambah lagi dengan lagu-lagunya yang juga berbau Melayu dan gambus.
Film-film India masuk bioskop kelas satu. Kalangan perfilman Indonesia kembali geger. Puncaknya terjadi 19 Maret 1957, yang berupa aksi tutup studio. Kala itu tiap perusahaan film punya studio sendiri. Seperti Persari di Polonia, Jatinegara. Perfini di Mampang, Jakarta Selatan dan Cijantung, Jakarta Timur. Golden Arrow di Senen, Jakarta Pusat. Tan & Wong di Bidarina (kini Jl Otto Iskandardinata), Jatinegara, dan Bintang Surabaya, di Jl Gajah Mada, Jakarta Kota.
Aksi protes mendapat dukungan pemerintah. Maka habislah riwayat film India di Indonesia. Pada masa itu lagu-lagu film India tanpa tari-tarian. Sang aktor dan artis menyanyi cinta di kebun, tepi pantai, atau di pesta. Sekarang ini, lokasinya di luar negeri, terlihat dari gedung-gedung megah di Eropa dan Amerika, atau bercintaan di salju.
Mengingat sejarahnya, Ardan tidak merasa aneh bila film India yang telah di permodern sekarang kembali digemari. Jalur ceritanya masih tetap sama seperti setengah abad lalu. Kalau tahun 50’an dan 60’an Raj Kapoor dan Nargis tidak perlu bersusah payah menggoyang-goyangkan tubuhnya sambil berlari-lari saat bernyanyi, kini para aktor dan artis sekarang seperti Shahrukh Khan dan Kajol dalam KKHH, maupun KKKG, perlu menjadi pakar goyang India.
Yang lebih berani bergoyang adalah Kareena Kapoor (cucu Raj Kapoor), yang berpasangan dengan aktor Hritak Roshan. Demikian juga goyang Rani Mukerjee dalam KKKG. Kita tidak tahu apakah goyang Inul Daratista meniru atau setidaknya terpengaruh goyang India. Yang jelas goyang Kajol, Kareena, dan Rani, ditiru sejumlah artis dangdut Indonesia. Salah satunya Liza Natalia. Tapi, dengan mengorbitnya Inul yang dijuluki Ratu “Ngebor’, gaya Liza Natalia dianggap out of date alias ketinggalan jaman.
Sebuah harian memberitakan, bahwa MUI akan memanggil penyanyi dangdut asal Pasuruan itu untuk menunjukkan goyangannya, kemudian membuat fatwa haram atau tidak hukumnya. Inul juga dikabarkan telah dicekal untuk main di Yogyakarta.
REPUBLIKA – Rabu, 19 Februari 2003
Tinggalkan Balasan