Tidak ada kota besar di Indonesia yang begitu banyak mengabadikan nama kramat (keramat) seperti Jakarta. Baik untuk nama kelurahan, kampung, jalan, atau tempat. Misalnya, Kampung Kramat Kalong di Batucepeer, Tangerang, Kramat Tunggak di Jakarta Utara, Kramat Jati di Jakarta Timur, dan Kramat Kalong di tepi kali Mookervaart, Grogol, Jakarta Barat. Lalu, Kramat Kwitang, Kramat Pulo, dan Kramat Sentiong di Jakarta Pusat.
Tentunya, nama-nama itu hanya secuplik dari ratusan kampung dan tempat yang dimulai dengan nama kramat. Itu membuktikan nama kampung kramat tersebar di lima wilayah Ibukota. Kata kramat kemungkinan berasal dari bahasa Arab karomah. Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Haji Irwan Sjafi’ie (71 tahun) menceritakan di masa lalu banyak dijumpai kuburan atau makam yang dikeramatkan penduduk. Mungkin karena itu, sekalipun makam-makam tersebut sudah tergusur, namanya hingga kini masih membekas.
Budayawan Betawi Ridwan Saidi (60 tahun) dalam Babad Tanah Betawi menjelaskan, di kampung-kampung kramat itu biasanya terdapat makam dari seseorang yang amat dihormati. Orang yang makamnya dikeramatkan itu biasanya mempunyai gelar Nyai, Aki (Ki), Kumpi, atau Datu/Dato yang menurut Ridwan mengacu kepercayaan pada masa-masa sebelum Islam.
Menurut H Irwan, adanya kramat-kramat ini kemungkinan bikinan penjajah Belanda dalam rangka merusak akidah umat Islam. Bukan hanya makam, pohon-pohon rindang juga dipercaya sebagai tempat yang dikeramatkan dan dianggap angker. Tempat ini juga dipercaya sebagai istana atau kediaman kuntilanak. Entah dari mana asalnya, menurut cerita, kultilanak jelmaan orang yang mati beranak. Konon, di kepalanya terdapat paku yang apabila dicabut ia akan terbang.
Sampai 1950-an, cerita-cerita macam ini masih dipercaya banyak orang. Sekitar tahun 1949, sebelum dibangun Jl Rasuna Said, Kuningan, terdapat sebuah jembatan gantung. Di bawah jembatan Dukuh Atas ini, yang saat itu menghubungkan Kuningan (Jakarta Pusat) dan Jl Gatot Subroto (Jakarta Selatan), terdapat kramat Si Dangdang. Di dekatnya, di belakang PT Kodel Kuningan, juga terdapat kramat Kong Entong Amin.
Sebagaimana sering terjadi, timbul permasalahan ketika makam itu hendak dibongkar pada 1975 untuk membangun Masjid Al-Bainah. Kepada para ahli waris diberikan Rp 3 ribu per orang untuk mengadakan selamatan. Menurut Irwan Sjafiie yang ketika itu menjadi lurah Karet, setelah dibongkar yang ditemukan hanya tujuh keping uang logam peseran (setengah sen) Belanda tahun 1718. Tidak ditemukan tulang belulang.
Pengalaman lain yang dihadapi H Irwan ketika hendak menggusur makam kramat saat jadi Lurah Petukangan Utara, Jakarta Selatan (1981-1990). Dalam rangka AMD (ABRI Masuk Desa) ke-10, sebuah makam yang dikelilingi pohon-pohon mente (jambu monyet), ketika hendak digusur mendapat reaksi keras dari penduduk. Menurut penduduk, di tempat ini banyak kuntilanak yang sering tertawa tiap Magrib. Saat itu, penduduk tidak berani lewat setelah Magrib. Tidak heran kalau sopir traktor ikut-ikutan tidak berani merobohkan pohon-pohon yang dianggap angker ini.
Baru setelah H Irwan membaca ”mantera”, si sopir berani menggusurnya. ”Padahal saya hanya membaca bismilah samnbil berteriak: Kalo lu mau hancur lu diem. Kalo tidak mau hancur lu pindah. Karena lu liat gue, gue kagak liet lu.” Akhirnya penggusuran makam dan pepohonan berjalan mulus. Bahkan di tempat ini berdiri perumahan Alfa. Di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, sampai 1960-an terdapat sebuah ”makam kramat.”
Letaknya di pinggir jalan dekat Pasar Poncol. Entah siapa yang dimakamkan, namanya kramat melinjo, nama pohon di dekatnya. ”Makam” berpagar ini diberi kelambu yang tiap waktu diganti entah oleh siapa. Di ”makam” berupa tumpukan tanah ini terlihat taburan bunga, menunjukkan banyak yang menziarahinya. Dianggap bertentangan dengan agama, ”makam” ini digusur tanpa menimbulkan masalah. Ternyata tidak ada isinya. Di Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dekat RS Medistra, juga terdapat sebuah kramat. Ketika hendak dibangun gedung, tidak ada yang berani membongkarnya karena takut kualat. Termasuk pak camat kala itu. Makam yang dikeramatkan ini pun hilang ditelan belantara beton Jakarta.
REPUBLIKA – Rabu, 08 Januari 2003
Kalau di Djogja rasanya tidak ada yang menggunakan nama ‘kramat’…