Menjelang Perang Dunia II, Batavia berpenduduk 900 ribu jiwa. Pada awal 50-an, atau setelah penyerahan kedaulatan, terjadi urbanisasi besar-besaran ke ibukota yang disebabkan terjadinya pemberontakan DI/TII. Banyak penduduk Jawa Barat, khususnya Priangan Timur, mengungsi ke Jakarta. Kaum urban juga datang dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Sehingga, pada masa walikota Soediro (1950-an) Jakarta menjadi prioritas program transmigrasi.
Sampai saat ini transmigrasi di Jakarta tidak pernah berhasil. Warga Betawi, saat itu masih mayoritas, tidak akan pernah berminat menjadi transmigran. Tidak heran jika Inang sewot ketika Si Doel, anak semata wayangnya, ingin bertransmigrasi ke Sumatera. ”Ngapain lu ke utan. Mau dimakan macan, atawe di injek gajeh,” bang Inang ngedumel dengan muka cemberut. Meminjam istilah antropologis, orang Betawi adalah masyarakat kurung batok (sedimentary people).
Makan tidak makan ngumpul, begitu kata mereka. Penyebabnya adalah sejak Hindia Belanda Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Segala sarana dan prasana terkonsentrasi di Jakarta. Konon sekitar 70 persen dari seluruh uang di Indonesia beredar di Jakarta. Konsentrasi yang terus menerus menjadikan Jakarta sebagai ‘kota tunggal’ dari masa ke masa. Tak ayal Jakarta kini memikul beban kian berat. Kalau pada masa gubernur Ali Sadikin penduduk Jakarta berjumlah tiga juta jiwa, pada 1999 jadi membengkak menjadi 12 juta di siang hari, dan 9 juta pada malah hari.
Pembengkakan masih terus terjadi, dan kini menjadi 14 juta di siang hari, dan 11 juta pada malam hari. Artinya, lebih tiga juta orang tiap hari ngendon dan mengadu nasib di kota ini. Bukan lagi dari Botabek, dan Depok, tapi juga dari Cianjur dan Sukabumi. Penduduk rela berdesakan dengan kondisi lingkungan yang kian buruk. Air tanah yang terancam pencemaran. Sungai-sungai yang sudah kehilangan fungsi komunikasinya, tanah yang kian menyempit dan mahal. Bahkan tanah-tanah ini sebagian besar sudah jatuh di tangan orang berduit. Ribuan wanita penjual seks terus membanjiri ibukota.
Sementara sektor informal, khususnya pedagang kaki lima (PKL), mengubah fungsi trotoar dan mempersempit jalan. Gangguan keamanan makin merasahkan. Padahal, sepanjang 1950 dan 60-an, Jakarta kota teraman. Sekalipun pemerintah menyatakan keadaan darurat perang akibat krisis politik, Jakarta tetap masih yang teraman. Gangguan keamanan ini perlu segera ditanggulangi, karena menjadi penyebab merosotnya arus wisatawan mancanegara dan keengganan investor untuk datang.
Proses pertumbuhan Jakarta tidak dapat dipisahkan dari timpangnya laju pertumbunan kota-kota besar di Indonesia. Surabaya, misalnya, adalah kota kedua terbesar di Indonesia sangat ketinggalan. Padahal, di masa Hindia Belanda Surabaya dan Semarang bersaing dengan Batavia. Kalau sampai akhir 1960’an pusat perekonomian Jakarta 90 persen berada di China Town Glodok, kini sudah sudah menyebar ke Blok M, Tanah Abang, Mangga Dua, Kuningan, sepanjang Jl Thamrin dan Sudirman, dan sejumlah kawasan lain.
Pusat-pusat perniangan juga menjamah hingga ke kampung-kampung sekitarnya. Di Tanah Abang, pesatnya bursa tekstil terbesar di Indonesia ini mengakibatkan pemukiman penduduk di Jl Kebon Kacang IV, Kebon Kacang V, dan Kebon Kacang VI, berubah fungsi menjadi pergudangan, usaha garmen, dan gedung ekspedisi. Sedangkan Kebon Kacang 31 sampai menuju Pasar Gandaria disulap menjadi perumahan elite. Kampung Bali juga bernasib sama. Rumah-rumah tua dibongkar habis penghuni baru yang kebanyakan pedagang.
Sementara dua kampung yang berdekatan yakni Tanah Rendah dan Kebon Jahe kini lenyap dari peta Jakarta. Kampung Tanah Rendah yang bersebelahan dengan Pasar Tanah Abang sekarang menjadi pusat perniagaan, menyatu dengan Pasar Tanah Abang. Sedangkan Kebon Jahe, jiran atau tetangganya, tergusur proyek fly over. Tidak ada lagi pemukiman penduduk di Jl Sawah Besar, kini bernama Jl Sukarjo Wiryopranoto. Seluruh rumah beralih fungsi menjadi toko, kantor, gudang, bengkel, dan kegiatan bisnis lainnya. Demikian pula di segitiga emas Kuningan (Rasuna Said). Padahal 20 tahun lalu masih banyak dijumpai peternak sapi, pengrajin batik, dan perajin kecil lainnya. Belasan kampung berubah jadi pusat bisnis. Entah kemana larinya para pengusaha kecil.
REPUBLIKA – Rabu, 05 Februari 2003
Tinggalkan Balasan