Pusat bisnis di Kebayoran Baru nantinya tidak lagi terpusat di kawasan Blok M. Karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kini tengah membahas perubahan peruntukan 395 hunian di 28 jalan di Kebayoran Baru. rencananya, akan diubah menjadi kawasan komersial. Menurut harian ‘Warta Kota’ (10/10-2001), dari 28 jalan itu, bangunan hunian yang paling banyak diusulkan perubahan peruntukannya adalah jalan-jalan Cikajang, Iskandarsyah I, Barito II, Panglima Polim dan Hang Tuah.
Karuan saja, rencana ini menimbulkan reaksi cukup keras, terutama dari mereka yang meminta agar peruntukan lahan di Kebayoran Baru tetap dipertahankan seperti semula, yaitu hunian. Alasannya, Jakarta mulai banyak kehilangan permukiman yang tertata dengan baik di tengah kota. Kotabaru Kebayoran, asal nama kawasan ini, direncanakan oleh pemerintah pre-federal pada 1948 untuk mengisi kekurangan perumahan di kota Jakarta.
Sebetulnya, sebelum dibangun kota satelit Kebayoran Baru, kawasan yang jaraknya 8 km dari Monas itu telah disurvei untuk pembangunan lapangan terbang internasional. Maksudnya untuk menggantikan bandara Kemayoran (didirikan menjelang perang dunia ke-II) yang ternyata menjadi penghalang pemekaran kota ke arah timur.
Daerah Kebayoran Baru, dulunya merupakan Onderdistrict Kebayoran Ilir, dengan luas 730 ha. Ia dipilih untuk pemekaran kota Jakarta ke arah selatan, dengan membangun 80 ribu unit rumah berikut fasilitas sosial dan jalan raya. Dipilihnya kawasan ini karena ia merupakan daerah pertanian dan pepohonan yang ‘ijo royo-royo’. Kemungkinan-kemungkinan bagi penyediaan air minum, aliran listrik, dan saluran-saluran air buangan dipenuhi wilayah itu.
Sampai tahun 1950 populasi penduduk Kebayoran Ilir yang menjadi cikal-bakal Kebayoran Baru berjumlah 4.900 jiwa. Memiliki tanah yang luas, umumnya mereka adalah pedagang buah-buahan. Ketika dibangun Kebayoran Baru, banyak nama-nama kampung yang hilang. “Seperti Petunduan dan Hutan Pitik,” kata tokoh Betawi H Irwan Sjafi’ie.
Pembayaran ganti-rugi penduduk dimulai 1 Desember 1948. Sebanyak 700 ribu pohon terdiri dari 26 macam buah-buahan harus diganti-rugi kepada penduduk. Sebanyak 1.688 bangunan rumah, kios, dan kandang-kandang ternak harus disingkirkan. Bulan Januari 1949 ganti-rugi pada penduduk selesai dibayarkan, semuanya berjumlah 15 juta gulden. Pada 18 Maret 1949 dimulai perletakan batu pertama.
Setahun kemudian terjadilah perubahan sebagai berikut: 150 ha untuk perumahan telah dibuka. Satu juta m2 jalur jalan tanah telah disiapkan. Sepanjang 42 km jalan telah dikeraskan dengan aspal, 17 km pipa air minum dipasang dan tujuh sumur bor dibuat. Sementara 2.050 perumahan telah dibangun dari rencana sebanyak 2.700 unit rumah kediaman.
Tanah seluas 730 ha itu dibagi untuk keperluan perumahan rakyat (152 ha), perumahan sedang (69,8 ha), vila (s55,1 ha), bangunan-bangunan istimewa 75,2 ha), flat (6,6 ha), toko-toko dan kios (17 ha), industri (20,9m ha), pertamanan (118,4 ha), jalan-jalan (181,5 ha), dan persawahan di daerah pinggiran 33 ha. Semua itu dimaksudkan untuk memberi tempat kediaman 100 ribu penduduk.
Hanya dalam beberapa tahun, lahan itu tidak sesuai dengan pertambahan penduduk Jakarta yang membengkak pesat. Tapi, Kebayoran Baru bukan kota satelit pertama yang dibangun di Ibukota. Karena, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1807 membuat rencana besar untuk mengubah Weltevreden di selatan kota tua, menjadi ibukota baru.
Mula-mula ia membuat istana (kini Departemen Keuangan), Klab Harmoni (kini gedung Sekneg), Koningsplein (kini Monas), berbagai fasilitas perumahan, perkantoran, dan pertokoan. Ia juga membangun pusat pertahanan di Meester Cornelis (Jatinegara).
Pada 1912, gemeenteraad (dewan kotapraja) Batavia telah menyetujui rencana dari maskapai pembangunan dan perkebunan ‘Gondangdia’ untuk pembangunan prasarana yang diperlukan untuk pembangunan perumahan, yaitu membuat jalan-jalan, taman, dan saluran-saluran air buangan.
Beberapa saluran air buangan yang dulunya merupakan kanal-kanal (kali buatan) sekarang ini masih dapat kita jumpai di kawasan Menteng. Kawasan ini dibangun 1920-an oleh perusahan De Bouploep saat modal asing dan pekerja-pekerja dari Eropa khususnya Belanda makin banyak berdatangan ke Batavia.
REPUBLIKA – Minggu, 14 Oktober 2001
Tinggalkan Balasan