Pemerintah, hari Selasa (21/1), merevisi kembali harga BBM setelah kenaikan 2 Januari 2003. Penurunan ini dilakukan karena terjadinya berbagai gejolak di masyarakat, dan kian maraknya demo di berbagai tempat. Upaya pemerintah membantu rakyat miskin yang makin terimpit hidupnya telah dimanfaatkan oleh para pedagang. Dilaporkan dari berbagai daerah bahwa para pedagang telah memborong beras dan kemudian menjual ke pasar dengan harga jauh lebih tinggi.
Sementara, minyak tanah yang harga resminya Rp 700 per liter, oleh para pengecer dijual Rp 1.250. Bahkan, di beberapa daerah di atas Rp 1.500 per liter. Sejak zaman penjajahan, disusul masa Orla, Orba, dan hingga kini, ihwal kenaikan harga kebutuhan sehari-hari selalu menimbulkan gejolak di masyarakat. Bahkan, pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942 hingga Agustus 1945), sekalipun pemerintahan bertangan besi, gejolak demikian juga terjadi. Untuk itu sebaiknya kita kembali ke masa pendudukan Jepang 60 tahun lalu.
Pada masa itu akibat Perang Asia Timur Raya sebagian besar kegiatan ekonomi telah lumpuh. Perusahaan dan kongsi perdagangan milik Belanda dan Eropa, serta Cina, hampir serentak tutup. Keadaan yang sama juga terjadi di pasar-pasar dan tempat perdagangan lainnya. Bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari ikut lenyap dari pasaran dan sangat sukar dicari. Kala itu, di sektor jual beli, Pemerintah Balatentara Jepang bertindak sebagai perantara dan sekaligus sebagai penyalur.
Agar harga-harga tidak makin membubung, maka ditentukan sejumlah harga kebutuhan pokok masyarakat yang kini dikenal dengan istilah floor price dan ceiling price atawa harga jual terendah dan tertinggi. Rupanya, minyak tanah kala itu merupakan kebutuhan strategis, sekalipun sebagian besar rakyat Indonesia masih menggunakan kayu bakar untuk masak-memasak.
Oleh karena itu Kantor Besar Pemerintahan Balatentara Jepang menentukan penjualan minyak tanah dan BBM lainnya. Tujuannya untuk memudahkan dan ”merapikan” pembagian minyak tanah dan BBM di Jawa. Maka, harga minyak tanah ditetapkan sebagai berikut: satu drum berisi 295 liter senilai 24 perak, isi 190 liter empat perak, dan satu kaleng isi lima liter 40 sen.
Bukan saja mengeluarkan peraturan yang menurunkan harga BBM, Pemerintahan Balatentara Jepang juga mengeluarkan pengumuman penurunan tarif bus kota, dari lima sen jadi tiga sen. Penguasa militer Jepang dikenal sangat ketat dalam mengawasi harga-harga eceran BBM dan berbagai kebutuhan pokok di pasar-pasar. Tugas pengawasan ini dilakukan oleh polisi militer Jepang, yang dikenal dengan nama Kempetai. Ada istilah saat itu, ”Bila ditangkap Kempetai pulangnya tinggal nama.”
Dalam pengawasan ini tidak tanggung-tanggung Kempetai menyebarkan mata-mata ke pasar-pasar dan pusat-pusat perdagangan. Pada Agustus 1942, lima bulan setelah pendudukan Jepang, sejumlah pedagang Cina dan Arab ditangkap karena kedapatan menaikkan harga dagangannya di atas ketentuan pemerintah. Nama mereka pun diumumkan di surat kabar. Tapi, ketatnya pengawasan, tidak mengurangi mereka untuk melakukan penimbunan.
Menjual barang sambil menunggu kenaikan harga-harga. Yang unik kala itu pihak Kotapraja Jakarta mendistribusikan berbagai barang ke toko-toko. Tetapi, para pembeli tidak melihatnya karena barang-barang tersebut dijual para pedagang di pasar gelap dengan harga jauh di atas ketentuan. Kala itu, boleh dikata hampir seluruh rakyat hidup melarat. Termasuk, para orang kaya hidup sangat prihatin. Banyak yang mati kelaparan.
Di Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk, sudah merupakan pemandangan biasa bila melihat orang mati di bawah pohon tepi jalan. Mereka umumnya para pendatang dari Jawa, yang ingin mengais rezeki di ibu kota. Sementara, warga Jakarta yang juga hidup susah tidak dapat menolong atau memberi pekerjaan. Boleh dikata, tidak banyak yang dilakukan Jepang selama 3 1/2 tahun di Indonesia. Tidak satu gedung pun dibangun di Jakarta. Jepang hanya mengganti nama-nama jalan, taman, dan tempat. Tidak kurang 250 nama jalan dan taman diganti nama Jepang.
Yang sangat ditentang kala pendudukan Jepang adalah upacara Saikeirei, yakni memberi hormat setiap pagi pada Teino Heika, kaisar Jepang yang dipercaya sebagai putra matahari. Para ulama yang menganggapnya syirik rela untuk menghadapi keganasan Kempetai sekalipun ada yang sampi diinjak-injak.
REPUBLIKA – Rabu, 22 Januari 2003
Tinggalkan Balasan