Jakarta berduka, ketika siaran radio As-Syafi’iyah setelah subuh tanggal 3 September 1985 mengumumkan meninggalnya KH Abdullah Syafi’ie. Tidak lagi terdengar suara lantang ulama Betawi itu, yang sejak 1967 selalu mengumandangkan dakwahnya setiap habis subuh. Radio yang banyak pendengarnya itu, terus mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran. Dengan suara lirih, penyiar mengumumkan meninggalnya almarhum dalam usia 75 tahun, pukul 00.30 saat menuju RS Islam.
Ratusan ribu warga Ibukota sejak pagi berduyun-duyun melayat ke kediamannya di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan. Masjid Al-Barkah, yang dibangunnya ketika almarhum berusia 23 tahun, harus berkali-kali menampung para jamaah saat berlangsung shalat jenazah. Sementara suara takbir, tahlil, dan tahmid berkumandang.
Perjalanan hidup kyai kharismatik ini, rupanya sejak muda memang sudah ditakdirkan untuk tidak pernah berhenti mengajak orang mendekatkan diri kepada Allah. Seperti dituturkan putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie, ayahnya pada usia 17 tahun sudah memperoleh Soerat Pemberi
Tahoean : Boleh mengajar di langgar partikulir.
Pada usia remaja inilah, KH Abdullah Syafi’ie mulai berdakwah. “Dan dimulai dari kandang sapi,” kata Kyai Abdul Rasyid. Ketika itu almarhum meminta izin kepada ayahnya, H Sjafi’ie bin Sairan untuk menggunakan kandang sapi sebagai kegiatan dakwah. “Sapi dijual, kandang dibersihkan, dilapisi bilik, lalu dipakai untuk madrasah”.
Tapi, begitu tawadhu-nya ulama Betawi ini. Biarpun namanya sudah tersohor, perguruan dan majelis taklimnya berkembang pesat, ia tidak menampakkan kesombongan sedikit pun. Selalu mau dekat dengan rakyat kecil. “Saya ini kan cuma khadam (pelayan).” Itulah kalimat yang sering diucapkannya. Maksudnya, dia hanyalah pelayan untuk mengajak masyarakat mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut KH Abdul Rasyid, ayahnya banyak mendorong generasi muda Islam untuk maju. Dengan mengajak dan memperkenalkan mereka diberbagai pengajian dan majelis taklim. Diantara dai muda yang dibinanya itu kemudian menjadi mubaligh-mubaligh handal.
Kyai Abdul Rasyid mengumpamakan ayahnya sebagai salah satu dari ulama Betawi yang ‘membabat hutan jahiliyah’. Karena ketegasannya dalam ber- amar makruf nahi munkar. Bahkan, pada usia muda, dengan mengendarai sepeda motor mendatangi berbagai pelosok kampung di antero Jakarta.
Ketika gubernur Ali Sadikin pada akhir 1960-an menggelar judi hwaa hwee, Abdullah Syafi’ie habis-habisan menentangnya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap aliran kepercayaan, yang ketika itu hendak dilegalkan sebagai bagian dari agama. Almarhum tanpa mengenal ampun melabrak ketika RUU Perkawinan hendak disahkan, karena dianggap melanggar kaidah-kaidah agama. Menghadapi berbagai tantangan dalam berdakwah, termasuk backing-backingan, tidak membuatnya jera. Karena ia paling tidak senang melihat perbuatan zalim dan syirik.
Seperti juga ulama Betawi lainnya, almarhum tidak suka mengungkit-ngungkit apalagi harus saling bertengkar sesama umat dalam soal-soal khilafiah. Bagi beliau yang paling penting ialah bagaimana membuat orang beribadah dan bertakwa.
Dikenal sebagai orang yang berhati lembut, ia selalu berseru agar orang berpunya mau menyantuni sebagian hartanya untuk kaum dhuafa dan yatim-piatu. Dia sendiri pada 1978 membangun pesantren khusus untuk yataama dan masakin, tanpa bayar di Jatiwaringin, Bekasi. Setidaknya, menurut KH Abdul Rasyid, sudah 350 yatim piatu yang mendapat bantuan dana dari As-Syafi’iyah. Di samping bantuan berupa beras, pakaian, dan uang kepada para dhuafa.
Untuk menghormati perjuangannya berdakwah, pada hari ini (9 September 2001), akan diselenggarakan haul almarhum ke-16, di Pesantren Alquran KH Abdullah Syafi’ie, Pulo Air Sukabumi. Bersamaan dengan tasyakuran pesantren itu, yang telah berusia 9 tahun, juga diselenggarakan silaturahmi alim-ulama, habaib, dan tokoh masyarakat.
REPUBLIKA – Minggu, 09 September 2001
Tinggalkan Balasan