Libya, yang terletak di tepi Laut Tengah, Afrika Utara, termasuk negara nomor empat terluas di Afrika. Dengan penduduk sekitar 4,5 juta jiwa, negara yang kaya-raya dengan produksi minyak, sejak 1969 dipimpin oleh Muammar Khadafi pengagum pemimpin Mesir Jamal Abdel Nasser. Sejak Kolonel Khadafi jadi pemimpin tertinggi Libya, ia menggunakan minyak untuk membantu perjuangan negara-negara Arab, terutama dalam menentang Israel. Khadafi dan para pemimpin Libya menyadari bahwa kekayaan yang mereka peroleh anugerah Allah SWT. Karena itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan Islam.
Karena konsisten membantu perjuangan umat Islam dan negara-negara tertindas di dunia, Khadafi jadi dibenci Barat, khususnya Amerika Serikat. Bahkan, Indonesia yang sangat bergantung pada bantuan AS, dimasa Orba ikut menjauhi negara itu. Baru sekitar awal 1990-an, Libya bisa membuka perwakilannya di Indonesia.
Seperti Indonesia, Libya pernah menghadapi perjuangan berat melawan imperialisme dan kolonialisme. Sejak Italia menduduki negara itu pada 1911 setelah mengalahkan Turki rakyat Libya tidak henti-hentinya melakukan perlawanan. Lebih-lebih ketika Mussolini pada 1922 berkuasa di Italia. Mussolini yang fasis dan diktator itu melakukan kekejaman luar biasa dalam upaya mematahkan perlawanan rakyat Libia yang tidak pernah surut.
Di antara pahlawan Libya yang mendapat julukan ‘the lion of the desert’ singa padang pasir adalah Umar Muchtar, guru sekolah agama dari Tripoli. Sepuluh tahun lamanya ia dan para pengikutnya mengangkat senjata melawan balatentara Italia yang memiliki persenjataan modern. Mussolini, yang semakin kalap memerintahkan untuk dengan segala cara menumpas pemberontakan itu. Akibatnya, beratus-ratus rakyat Libya dibunuh dan disiksa, tidak terkecuali wanita dan orang tua.
Pada 16 September 1931, Umar Muchtar (setelah menderita luka-luka dalam pertempuran tidak seimbang) ditangkap bersama dengan para syuhadah lainnya. Pejuang Islam ini pun menjadi syahid setelah dihukum gantung di depan umum bersama sejumlah pengikutnya. Sebelum meninggalkan dunia, ia minta agar terlebih dulu melakukan shalat. Sambil menyatakan bahwa ia boleh mati, tetapi perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan dan kebebasan, melawan ketidakadilan dan nafsu serakah kaum imperialis tidak akan pernah berhenti.
Dunia Islam pun mengutuk pembantaian di luar perikemanusiaan ini. Termasuk Indonesia, yang kala itu sudah punya hubungan dengan gerakan Pan Islam yang dimotori oleh Sayid Jamaluddin Al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Dimotori H Agus Salim selaku pimpinan Syarikat Islam (SI), maka diambil suatu keputusan: ‘Memboikot produk dan barang-barang Italia.’ Waktu itu, produk Italia yang masuk ke Indonesia adalah mobil Fiat dan tarbus. Karena umumnya Belanda dan Cina yang mampu membeli mobil, maka sasaran lebih luas adalah tarbus. Tarbus adalah peci berbentuk bundar warna merah dengan kuncir hitam ditengahnya. Peci yang umumnya dipakai oleh keturunan Arab di Indonesia, menjadi sasaran pembakaran di jalan-jalan di Batavia. Boikot yang terjadi pada masa kolonial Belanda itu, merupakan solidaritas umat Islam yang patut dipuji. Karena tindakan itu dilakukan di bawah ancaman Belanda yang tidak menyetujui tindakan tersebut.
Kini, setelah invasi AS ke Afganistan, banyak usul agar kita memboikot produk dan barang AS. Setidak-tidaknya banyak yang meminta agar strategi pembangunan nantinya tidak lagi harus tergantung dari luar negeri. Apalagi seperti yang pernah disindir oleh PM Malaysia, Mahathir, kalau saja ada negara menolak keingingan AS, maka bersiap-siaplah untuk di ‘Panama’-kan, dan kepala pemerintahannya di ‘Noriega’-kan. Kasus persengketaan di Panama dengan AS itu, juga tercermin dalam kasus persengketaan Irak-AS. Dengan alasan Saddam Husein musuh nomor satu, AS tanpa mengenal kasihan telah merusak infrastruktur Irak, membunuh bayi dan wanita, menghancurkan pabrik susu, melumpuhkan ekonomi dan perdagangan Irak. Kasus serupa kini tengah terjadi di Afghanistan. Rakyat sipil yang tidak berdosa menjadi korban. Karena itulah Bung Karno mengatakan bahwa imperialisme dan kapitalisme merupakan sumber ketegangan di dunia.
REPUBLIKA – Minggu, 21 Oktober 2001
Tinggalkan Balasan