Tahun 1950’an sebagian kota Jakarta masih merupakan daerah pertanian dan ladang buah-buahan. Padi dihasilkan dari sawah-sawah yang terhampar luas di bagian barat Cengkareng, yang kini jadi bandar udara internasional. Di bagian timur Klender, dan bagian utara Tanjung Priok, juga terdapat persawahan cukup luas. Tapi, lebih penting dari itu produksi buah-buahan; durian, jeruk, mangga, jambu, duku, salak, dan berbagai jenis lainnya, dihasilkan dari Pasar Minggu, Condet, Pejaten, Kemang, dan Mampang Prapatan.
Untuk menjaga mutu buah-buahan yang kala itu juga banyak dikirim ke luar daerah, Pemda DKI membuat Kebon Percobaan di Pasar Minggu. Sementara itu di sepanjang pantai utara Jakarta terdapat ratusan hektar empang penghasil utama ikan bandeng, jenis ikan paling bergengsi di kalangan warga keturunan Tionghoa. Kala itu, pada malam capgomeh (malam ke-15 pada tahun baru Imlek), seorang perjaka yang datang wakuncar ke rumah kekasihnya, dimustiken membawa ikan bandeng. Cilaka duabelas bila calon menantu tidak membawa bandeng ke rumah mertoku (mertua) pada malam itu.
Tidak heran kalau Encim Liem sangat gusar pada si Akong, calon menantunya yang bertandang ke rumahnya tanpa bawa bandeng. ”Apa-apaan tuh lu pu punye pacar. Bikin malu gue ame tetangga, datang kagak bawa bandeng,” Encim Liem menghardik putrinya. Pada 1950’an, ribuan empang ikan air tawar terdapat di bagian selatan Jakarta. Sementara para nelayan dengan bergairah, beroperasi dengan perahu layar dan motor tanpa takut disaingi nelayan asing di Teluk Jakarta. Sedangkan di Mampang Prapatan, Buncit, Kuningan, dan Kemang, terdapat ribuan warga Betawi menggantungkan hidup dari beternak sapi.
Pagi dan sore hari, ratusan tukang susu mengayuh sepeda mendatangi pelanggannya di kawasan Menteng, Kebon Sirih, Parapatan, Senen, dan Jakarta Kota. Kala itu, Kemang yang sampai 1980’an merupakan perkampungan paling elite di samping Pondok Indah tidak tertera dalam peta ibukota. Sampai 1960’an, Kemang hanya merupakan sebuah desa dari kelurahan Bangka. Bahkan sampai 1970’an, Kemang masih sepi. Pendatang yang tinggal masih bisa dihitung dengan jari. Hampir seluruh penduduk warga Betawi, yang hidupnya tergantung dari pertanian, berkebun, dan beternak sapi.
Willard A Hanna, mantan direktur kantor penerangan AS (USIS) pernah bertahun-tahun tinggal di Jakarta. Dalam buku ‘Hikayat Jakarta’ yang diterbitkan 1980’an, ia menulis : ”Akhir-akhir ini Kebayoran dikalahkan oleh pembangunan kota-kota satelit baru, yang lebih mewah seperti Kemang, dan Pertamina Village di Kuningan.” Kemang, tulis Hanna, setaraf dengan Forbes Park tempat tinggal para eksekutif dan diplomat di Manila. Kalau kita mau melangkah ke Kemang yang 50 tahun lalu harga tanahnya hanya ratusan perak kita akan mendapati belasan restoran yang menawarkan berbagai masakan asing.
Di sini kita dapat menjumpai puluhan bar, diskotek, kafe, dan klub malam tempat para muda-mudi berjingkrak-jingkrak hingga teler sampai dini hari. Sementara dari masjid-masjid dan mushola terdengan azan subuh : Hayya allal sholah, hayya allal falah . Maka dari lorong-lorong kampung Betawi yang becek itu keluarlah orang-orang kampung untuk shalat berjamaah. Pada masa walikota Syamsuridjal (1951 – 1953), kota Jakarta selalu mengalami pemadaman listrik tiap tiga hari sekali.
Pemadaman ini terpaksa dilakukan karena Jakarta hanya mendapatkan jatah dari pemerintah pusat 240 kilowat. Sedangkan yang diperlukan 274 kilowat. Untuk mengatasi kesulitan listrik yang demikian gawat itu, dibangunlah pusat tenaga listrik (PLTA) di Ancol. Hingga pemadaman dapat diperkecil menjadi enam hari sekali. Kala itu, di Jakarta masih terdapat 3.566 hektar tanah partikulir milik 16 perusahaan yang mereka beli pada masa penjajahan.
Kampung-kampung yang berada di tanah partikulir seperti di Kwitang, Jakarta (milik Alkaff), dan Jl Alaydrus di Jakarta Kota, jalannya tidak diaspal dan berlubang-lubang. Hingga pada musim kemarau berdebu, bila musim hujan sulit dilalui karena seperti kubangan kerbau. Pada masa itu, Syamsuridjal telah dipusingkan oleh arus urbanisasi dari daerah-daerah. Akibatnya Jakarta dibanjiri gelandangan.
Meskipun telah disediakan tampat penampungan anak-anak terlantar di Pulau Damar (Kepulauan Seribu), masih sekitar 5000 anak gelandangan berkeliaran di Ibukota. Sedangkan di pulau Edam ditampung 2000 anak telantar. Kala itu, penduduk Ibukota sekitar 2 juta jiwa. Padahal pada 1912 penduduknya baru 162.126 jiwa, dan ketika Jepang masuk (1942) 600 ribu. Hanya dalam waktu 4 tahun (1948) penduduk melonjak jadi 1.74.254 jiwa.
REPUBLIKA – Rabu, 05 Maret 2003
Tinggalkan Balasan